KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah tampil perkasa dan kembali ditutup di bawah Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan kemarin. Pada Kamis (8/8), rupiah bertengger di Rp 15.894 per dolar AS.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana mengatakan, penguatan rupiah karena adanya momentum yang tepat. Di saat data-data ekonomi AS melemah, data dari dalam negeri sangat baik sehingga rupiah terapresiasi. "Pertumbuhan ekonomi di 5,05% dan inflasi di 2,13%, sehingga
riil yield Indonesia semakin besar dan menjadi pendorong masuknya dana asing," ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (8/8).
Lalu, data cadangan devisa (cadev) Indonesia juga naik US$ 5,2 miliar di Juli. Sehingga mendorong perkiraan data neraca perdagangan di Juli akan sangat baik. Pada saat yang sama, hasil cadev tersebut juga mendorong perkiraan '
balance of payment' (neraca pembayaran) berpotensi surplus di kuartal III ini.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Menguat ke Rp 15.800 Per Dolar AS di akhir 2024, Ini Syaratnya "Jika surplus, ini menjadi katalis bahwa sebenarnya ada aliran dana asing yang masuk ke dalam negeri atau ekonomi Indonesia semakin berkembang," paparnya. Sementara itu, dolar AS tertekan, khususnya setelah data tenaga kerja yang buruk. Initial Jobless Claim sebesar 233 ribu atau kedua tertinggi di tahun ini, Unemployment Rate naik 4,3% atau tertinggi sejak 2021, dan Non Farm Payroll hanya tumbuh 114.000 atau paling rendah sejak Mei 2022. "Ditambah, pada hari Senin ada Black Monday karena kekhawatiran resesi di negara maju, termasuk Jepang dan Korea," jelas Fikri. Selain itu, ekspektasi pemangkasan the Fed yang lebih besar dari perkiraan menekan indeks dolar. Berdasarkan Fed Watch Tool, probabilitas pemangkasan di September ke 475bps-500bps meningkat menjadi 57,5% dari posisi 22% pada pekan lalu. Lalu di November, probabilitas pemangkasan ke 450bps-475bps meningkat menjadi 53,4% dari 21% pada pekan sebelumnya. Kemudian pada Desember probabilitas penurunan suku bunga the Fed ke 425bps-450bps meningkat menjadi 48,8% dari 27,7% di 1 Agustus 2024. Pada saat yang sama, di Asia, khususnya di Asia Timur kondisinya sedang kurang baik. Misalnya di India lantaran adanya '
trust issue'. Reserve Bank of India (RBI) mengeluarkan dua seri obligasi yang selalu masuk ke keranjangnya. "Tiba-tiba ada aturan yang mengeluarkan kedua seri itu, sehingga pergerakan indeks obligasi India tertahan dan asing keluar dari India," ujarnya. Meski demikian, Fikri menilai pasar terlalu bersikap berlebihan terhadap pergerakan dolar AS. Ia memperkirakan untuk saat ini dolar AS akan bergerak
sideways. Menurutnya, data yang juga perlu diperhatikan adalah data inflasi AS.
Headline dan
Core CPI yang baru keluar Rabu depan dinilai juga menjadi kunci sebagai
guidance atas respon the Fed. Fikri menilai, jika
Headline dan
Core CPI masih di atas 3% atau di 2,9% maka penurunan Fed Rate tidak akan sebanyak yang diperkirakan pasar saat ini.
Baca Juga: BI Diperkirakan akan Pangkas Suku Bunga Acuan 50 bps Menjadi 5,75% di Akhir 2024 "Kemungkinan hanya 25bps di September," katanya. Sebab, lanjut Fikri, pada saat yang sama, data penjualan mobil bekas di AS naik. Ini menjadi yang pertama kali di tahun ini. Pada tahun 2022 dan 2023, penjualan mobil bekas justru menjadi pendorong inflasi terbesar, selain dari sektor tenaga kerja dan
shelter. "Jadi ini yang perlu dilihat pasar," sambungnya. Fikri juga mengatakan bahwa setelah data inflasi AS rilis, rupiah diperkirakan akan sedikit terdepresiasi. Sebab, saat ini sudah tidak ada data yang signifikan dari dalam negeri, sehingga hanya menunggu dari data global.
"Kemungkinan, data neraca perdagangan yang akan signifikan, tetapi sepertinya sudah
price-in saat ini," katanya. Oleh sebab itu, Fikri masih mempertahankan rupiah di Rp 15.886 per dolar AS di akhir tahun 2024. Sementara untuk di kuartal ketiga, ia memproyeksikan rupiah berada di rentang Rp 15.900 - Rp 16.000 per dolar AS. Menurutnya, target itu juga cenderung optimistis. Sebab, berdasarkan konsensus Bloomberg, rupiah diperkirakan berada di Rp 16.100 pada akhir tahun 2024. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari