KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja emiten properti kawasan industri dilihat masih berat. Hal ini lantaran perekonomian global yang masih lesu, sehingga membuat permintaan sewa stagnan. Contohnya, PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (
KIJA) yang dikabarkan berencana melepas aset tanah di Kawasan Jababeka Cikarang demi menekan beban utang. KIJA berencana membayar utang sebesar US$ 100 juta dalam waktu dekat. Di saat yang bersamaan, KIJA mengaku siap jika kawasan industri Cikarang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Pendiri sekaligus Direktur Utama KIJA Setyono Djuandi (SD) Darmono mengatakan, jika kawasan industri Cikarang masuk PSN, pihaknya ingin sektor yang menjadi fokus adalah pendidikan dan kesehatan. “Supaya orang-orang Indonesia tidak perlu pergi ke Penang, tidak perlu ke Singapura, cukup ke Jababeka. Kami ada 2.000 pabrik dari 34 negara, pasarnya sudah ada," ujarnya saat ditemui Kontan, Rabu (17/7).
Baca Juga: Jual Tanah di Kawasan Industri, Jababeka Bakal Lunasi Utang US$ 100 Juta Tahun Ini KIJA sendiri masih membukukan rugi Rp 125,44 miliar per kuartal I 2024. Penjualan dan pendapatan jasa KIJA juga turun 11,54% secara tahunan alias
year on year (YoY) ke Rp 688,57 miliar di akhir Maret 2024. Di sisi lain, PT Surya Semesta Internusa Tbk (
SSIA) juga masih mencatatkan rugi. SSIA mencatat rugi bersih konsolidasi sebesar Rp 14,9 miliar per kuartal pertama 2024, naik dari rugi bersih pada kuartal pertama 2023 sebesar Rp 9,3 miliar. Namun, pendapatan SSIA naik 13,8% yoy ke Rp 1,09 triliun pada periode yang sama. Jika melihat kinerja saham, nasib KIJA dan SSIA cukup berbeda. Melansir RTI, saham SSIA naik 2,38% dan melesat 147,7% sejak awal tahun. Sementara, saham KIJA turun 9,46% dalam sebulan dan stagnan secara year to date (ytd). Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto melihat, beberapa emiten sektor kawasan industri rata-rata mengandalkan dari sektor manufaktur, terutama otomotif, makanan, dan data center. Oleh karena itu, pertumbuhan penjualan kawasan industri akan sangat bergantung dari ekspansi yang dilakukan perusahaan-perusahaan di sektor tersebut. “Sayangnya, kondisi ekonomi global saat ini sedang direm akibat kebijakan suku bunga yang tinggi. Hal ini membuat para perusahaan tersebut juga menahan diri menunggu momen yang lebih tepat,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (18/7). Untuk beberapa sektor, dilihat Pandhu masih bisa tumbuh, seperti sektor data center yang semakin banyak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan perkembangan teknologi. “Sehingga, perusahaan kawasan industri yang mampu menarik minat para penyedia data center tentu akan lebih diuntungkan,” paparnya. Jika dilihat dari kinerja secara rata-rata, untuk sektor kawasan industri belakangan ini memang sedang lesu. Ini tercermin dari beberapa emiten yang mencatatkan rugi. situasi ini pun bertambah berat ketika para perusahaan tersebut memiliki utang dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS), karena depresiasi rupiah yang cukup dalam. “Termasuk juga KIJA yang labanya tergerus oleh kerugian kurs,” ungkapnya.
Baca Juga: Hingga Semester I-2024, Total Realisasi Investasi di 22 KEK Mencapai Rp205,2 Triliun Pandhu melihat, upaya KIJA untuk menjual aset merupakan langkah konservatif untuk mengurangi tekanan dari perubahan nilai tukar dan memperbaiki struktur permodalan. Hasil penjualan itu pun akan digunakan untuk melunasi sebagian utang, sehingga beban utang juga akan lebih rendah. “Untuk proyeksi kinerja kuartal II 2024, jika dilihat dari perkembangan ekspansi para perusahaan manufaktur dan nilai tukar, diperkirakan hasilnya masih akan berat. Bahkan, kemungkinan tidak lebih baik dibandingkan dengan kuartal pertama,” tuturnya. Namun, masih ada harapan untuk penguatan kinerja para emiten kawasan industri. Terlebih, jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS membaik dan suku bunga bank sentral mulai dipangkas. Sebab, hal tersebut akan membuat banyak perusahaan lebih berani mengambil langkah dalam melakukan ekspansi. “Ekonomi yang melaju positif tentu akan mendorong kebutuhan akan kawasan industri,” ungkapnya. Alhasil, Pandhu masih merekomendasikan
wait and see untuk emiten kawasan industri, karena masih belum tampak ada perbaikan kinerja yang signifikan dalam waktu dekat. “Jika memang mau mulai investasi di emiten kawasan industri, harus punya keyakinan dan kesabaran yang lebih besar,” katanya. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gusta Utama melihat, kinerja emiten kawasan industri masih negatif dan beban operasionalnya masih meningkat. “Liabilitasnya juga masih tinggi, KIJA bahkan sampai harus menjual aset mereka di Cikarang. Penjualan aset itu akan memengaruhi arus kas,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (18/7). Terkait kondisi penjualan, Nafan melihat para emiten masih bisa mencoba meningkatkan penjualan. Hal itu bisa terkerek dengan rencana para emiten mengembangkan kota mandiri. “Jadi, setidaknya bisa meningkatkan prapenjualan alias marketing sales dulu,” paparnya.
Sebagai catatan, marketing sales kawasan industri KIJA sebesar Rp 561 miliar di kuartal I 2024, turun 1% YoY. Sementara, SSIA menargetkan marketing sales dari Suryacipta City of Industry Karawang dan Subang Smartpolitan seluas 184 hektar atau nilai penjualan setara Rp 2,2 triliun di tahun 2024. Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana melihat, pergerakan saham SSIA berada di level support Rp 1.050 per saham dan resistance Rp 1.090 per saham. Herditya merekomendasikan speculative buy untuk SSIA dengan target harga di Rp 1.120 - Rp 1.130 per saham. Sementara, pergerakan saham KIJA ada di level support Rp 122 per saham dan resistance Rp 131 per saham. Herditya masih merekomendasikan
wait and see untuk KIJA. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari