KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri petrokimia dan turunannya terus berbenah dengan berbagai investasi baru di sektor tersebut. Hal ini dilakukan di tengah ancaman banjir impor yang terus meningkat, terutama di sektor hilir petrokimia. Sebagaimana diketahui, industri petrokimia, khususnya bahan baku plastikĀ akan kedatangan investasi sebesar US$ 31,41 miliar dari sejumlah proyek. Misalnya, proyek PT Lotte Chemical Indonesia dengan investasi senilai US$ 4 miliar dan akan beroperasi pada 2025 mendatang.
Baca Juga: Deretan Proyek Ekspansi Prajogo Pangestu Lewat Grup Barito (BRPT) & Petrindo (CUAN) Berikutnya ada proyek PT Pertamina-Polytama Propindo 2 sebesar 322 juta yang ditargetkan beroperasi pada 2027. Proyek lainnya pembangunan pabrik olefin oleh TPPI Tuban dengan investasi US$ 3,9 miliar yang akan beroperasi pada 2028. Ada juga proyek PT Chandra Asri Perkasa senilai US$ 5 miliar yang diproyeksikan beroperasi pada 2029. Tak ketinggalan, ada proyek Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP) senilai US$ 16,5 miliar--US$ 18 miliar dengan target operasi 2030. Masih ada juga proyek dari PT Sulfindo Adiusaha senilai US$ 193 juta meski belum dipastikan target operasionalnya. Hanya saja, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pernah mengakui beberapa investor berpotensi membatalkan investasinya lantaran efek kebijakan impor melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 8/2024.
Baca Juga: Emiten Prajogo Pangestu (BRPT) Cari Waktu Bawa IPO Anak Usaha Properti Padahal, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita bilang, investasi di industri petrokimia sangat dibutuhkan, mengingat bahan baku di sektor hulu industri ini masih didominasi oleh produk impor. 'Industri hulu petrokimia punya potensi untuk dikembangkan, karena selama ini kebutuhan bahan bakunya masih impor," ujar dia, Selasa (22/10) lalu. Senada, Sekretaris Jenderal Asosiasi Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, selama ini 45% bahan baku di industri petrokimia nasional masih harus diimpor dari luar negeri. Produsen lokal baru bisa berkontribusi 55% saja untuk pemenuhan bahan baku industri petrokimia. Alhasil, investasi baru memang sepatutnya dibutuhkan. "Pemerintah harus bisa memastikan bahwa pasokan dari lokal bisa terjaga, jangan sampai ikut terisi oleh produk impor," imbuh dia, Minggu (27/10).
Baca Juga: Kemenperin Ingin Percepat Penerbitan Beleid Gas Bumi untuk Industri Inaplas pun menyoroti tren importasi yang makin gencar di sektor hilir petrokimia seperti plastik dan barang jadi plastik asal China yang sedang mengalami kelebihan pasokan. Kenaikan impor tersebut berpotensi menyentuh dua digit sampai akhir tahun nanti. Ini mengingat permintaan terhadap produk plastik meningkat sekitar bulan Desember dan Januari lantaran para produsen mulai bersiap menghadapi lonjakan permintaan saat momentum Ramadan dan Lebaran tahun 2025. Gempuran impor dari China membuat utilisasi industri hilir petrokimia nasional terus tergerus hingga ke level 50%. "Ketika hilirnya terganggu, maka sektor hulunya juga akan terdampak," jelas Fajar. Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) mendukung pengembangan industri hulu petrokimia, mengingat sektor ini masih minim investasi baru yang signifikan. Lagi, pula para pelaku usaha hilir plastik lebih senang menggunakan bahan baku lokal selama harganya kompetitif.
Baca Juga: Belum Ada Investasi Baru di Hulu, Aphindo Beberkan Tantangan Harga Bahan Baku Selama ini bahan baku plastik yang sebagian besar masih impor dikenakan tarif bea masuk yang cukup tinggi, sehingga memberatkan bagi produsen di sektor hilir. Aphindo mencontohkan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 19/2009 mengatur bahwa bea masuk untuk bahan baku plastik yang diimpor dari negara non-free trade agreement (FTA) ditetapkan sekitar 10% sampai 15%. Kebijakan ini memang ditujukan untuk melindungi industri hulu petrokimia, namun justru kurang adil bagi industri hilirnya. "Waktu diusulkan PMK 19 tersebut, dalam kajiannya pemerintah akan melakukan ekspansi penambahan kapasitas produksi bahan baku plastik dalam negeri melalui rencana pembangunan pabrik Chandra Asri kedua, tapi sampai saat ini realisasinya tidak pernah ada," pungkas Sekretaris Jenderal Aphindo Henry Chevalier, Minggu (27/10). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto