Investasi bisa terhambat, APBI tegaskan revisi PP 23/2010 perlu segera diterbitkan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengusaha batubara kembali meminta supaya revisi keenam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara bisa segera diterbitkan. Revisi PP tersebut akan dibarengi dengan terbitnya PP tentang perpajakan dan penerimaan negara dari bidang usaha batubara.

Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengatakan, paket regulasi tersebut akan sangat mempengaruhi tingkat investasi di bidang usaha emas hitam ini.

Tak hanya itu, revisi PP 23/2010 juga terkait dengan kepastian hukum dalam kelangsungan sejumlah pelaku usaha raksasa yang tergolong dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama.


Sebab, salah satu pokok dalam revisi PP 23/2010 adalah tentang perpanjang izin dan peralihan status dari PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebelumnya, Pemerintah bahkan sempat menargetkan paket kebijakan tentang batubara ini bisa terbit akhir tahun 2018 atau awal 2019.

"Ini krusial sekali. Urusan Pemilu sudah selesai, bola balik lagi ke pemerintah, semuanya ingin kepastian," kata Pandu beberapa hari lalu.

Pandu juga menekankan, di tengah tekanan harga dan pasar batubara global, ketidakpastian hukum ini bisa berdampak negatif terhadap investasi di sektor batubara. "Yang terjadi sekarang investasi stuck, lagi pusing gara-gara ini diambangin," imbuhnya.

Ia pun mengatakan, regulasi tentang kejelasan status perizinan ini diperlukan mengingat sudah ada satu pemegang PKP2B yang masa kontraknya sudah berakhir. serta, satu PKP2B lainnya akan segera mengakhir kontrak pada tahun depan.

"Nah itu bagaimana? ini nggak bagus, jadi memang harus diperjelas," tegasnya.

Seperti diketahui, ada tujuh PKP2B yang kontaknya akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. Yakni PT Arutmin Indonesia (1 November 2020), PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (31 Desember 2021), PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025). Sedangkan satu PKP2B, yakni PT Tanito Harum kontraknya sudah berakhir pada 14 Januari 2019 lalu.

Luas Wilayah: PKP2B vs BUMN

Menurut Pandu, pada paket regulasi tersebut, pelaku usaha tidak lagi mempersoalkan substansi dalam draft PP perpajakan dan penerimaan negara. "Soal pajak aku rasa udah clear, baik buat negara dari sisi pendapatan. Member juga nggak masalah," akunya.

Namun, ada satu persoalan yang mengganjal dalam revisi PP 23/2010. Yakni soal luas wilayah dan penguasaan negara dalam pengelolaan lahan tambang milik PKP2B.

Sebagaimana yang pernah Kontan.co.id beritakan sebelumnya, Kementerian BUMN meminta supaya revisi PP tersebut bisa mengakomodasi penguatan peran BUMN. Serta, luas wilayah tambang PKP2B yang memperoleh perpanjangan tidak melebihi 15.000 hektare (ha).

"Kan polemiknya jelas, jadi poinnya is it better of private sector or the hand of the state?" ungkap Pandu.

Dalam hal ini, Pandu menilai pengelolaan oleh sektor swasta bisa lebih efisien. Sebab, pengelolaan oleh BUMN mesti memperhatikan kesiapan sumber daya manusia dan operasional yang dimiliki untuk tetap menjaga tingkat produksi.

Lebih lanjut, Pandu pun membuat perbandingan dengan sejumlah blok migas terminasi yang pengelolaannya diberikan kepada Pertamina. "Kita belajar juga soal pengalihan dari sisi oil and gas, jadi perlu objective," katanya.

Pandu mengingatkan, selain untuk ketersediaan pasokan energi, menjaga tingkat produksi juga perlu karena akan berdampak terhadap kelangsungan ekonomi dan penerimaan negara. "Kalau produksi menurun, royalty menurun, kita lihat economy benefit-nya. Misalnya punya 100% dari 10 atau 40% dari 1.000, pilih mana?" ungkap Pandu.

Mengenai luas wilayah dan pengelolaan lahan tambang PKP2B ini, sebelumnya KONTAN juga telah memberitakan keinginan serupa dari tiga bos tambang batubara raksasa. Yakni Chief Executive Officer PT Arutmin Indonesia Ido Hutabarat, Direktur Utama PT Kideco Jaya Agung Mochamad Kurnia Ariawan, dan Direktur Utama Adaro Energy Garibaldi Thohir.

Ketiganya kompak, berharap supaya setelah ada perpanjangan izin dan perubahan status dari PKP2B menjadi IUPK, luas lahan tambang yang dikelola bisa sama seperti yang ada saat ini. "Ya keinginan kita bisa perpanjangan eksisting," kata Ido Hutabarat.

Menurut Pandu, saat ini semuanya berpulang pada political will pemerintah. Hanya saja, Pandu meminta kepada Kementerian ESDM sebagai leading sector, bisa menunjukkan sikap yang jelas terhadap revisi PP 23/2010 tersebut.

"Ini lebih ke political will saja, mana yang terbaik buat negara. Tapi dari sisi (Kementerian) ESDM harus tegas, rekomendasi dan posisinya," tandas Pandu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .