Investasi Hilirisasi Dinilai Belum Optimal Berdampak ke Ekonomi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi di bidang hilirisasi mencapai Rp 181,4 triliun atau 21,9% dari total realisasi investasi sepanjang semester I-2024.

Pada tahun 2023 lalu, realisasi investasi di bidang hilirisasi sebesar Rp 375,4 triliun atau 26,5% dari total investasi sepanjang tahun 2023.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, investasi di bidang hilirisasi masih belum optimal. 


"Salah satunya karena bergantung pada dominasi hilirisasi mineral, bukan hilirisasi sektor pertanian, perikanan dan perkebunan," ujar Bhima kepada Kontan, Rabu (7/8).

Baca Juga: Ini Strategi Pemerintah Genjot Kinerja Investasi, Menuju Negara Berpenghasilan Tinggi

Sementara di sektor hilirisasi nikel terjadi perubahan arah kebijakan untuk mendorong investasi fasilitas pengolahan High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk hasilkan baterai kendaraan listrik. 

Di saat yang sama investasi dengan teknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) yang sebelumnya masif menciptakan berbagai kendala termasuk oversupply produksi nikel untuk bahan baku stainless steel. 

Bhima mengatakan, serapan tenaga kerja paska smelter beroperasi cenderung turun dibanding fase konstruksi. Artinya model smelter yang existing belum menjawab kebutuhan kesempatan kerja secara berkelanjutan.

Dampak lain adalah belum efektifnya kehadiran proyek hilirisasi mineral dalam menurunkan angka kemiskinan.

"Daerah seperti Morowali, Konawe angka kemiskinannya masih diatas rata rata nasional," ungkap Bhima.

Baca Juga: Ekonom Beri Resep agar Indonesia Tidak Masuk Jebakan Berpendapatan Menengah

Presiden Jokowi mengatakan, rencana hilirisasi sudah kelihatan hasilnya. Misalnya saat menyetop ekspor raw nikel berpotensi kehilangan pendapatan kurang lebih sebesar US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 20 triliun

Namun saat ini karena kebijakan hilirisasi membuat nilai tambah ekspor nikel mencapai US$ 34 miliar atau sekitar Rp 510 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi