Investasi lukisan, antara seni dan keuntungan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebelum mencetak rekor dunia, pada tahun 1958, lukisan Salvator Mundi karya seniman legendaris Leonardo Da Vinci hanya dihargai sebesar £45 pada rumah lelang Sotheby's. Sedangkan pada masa pra-penjualan yang diedarkan sehari sebelum rumah lelang Christie's melepas lukisan tersebut, estimasi lakunya pada US$ 100 juta. Lonjakan harganya yang capai US$ 450,3 juta atau setara Rp 6,12 triliun mengingatkan kita pada potensi lukisan sebagai alternatif investasi yang indah.

Memang, pembeli seni berasal dari kalangan yang beragam. Ada yang memiliki cita rasa seni, motivasi keuangan ataupun sekadar menjaga gengsi.

Namun secara teknikal lukisan, kurator sekaligus pemilik Sidharta Auctioneer, Amir Sidharta menjelaskan apa yang dicari para penikmat seni maupun investor yang berminat kurang lebih sama, yakni ukuran, subjek dan periode berkaitan dengan lukisan tersebut.


Amir menjelaskan, ukuran fisik lukisan jelas akan mempengaruhi valuasinya, sedangkan minat pembeli saat ini ia lihat sedang memburu nilai sejarah. "Yang sekarang diminati adalah yang memiliki makna penting pada sejarah kita, seperti Affandi, Raden Saleh dan Sudjojono adalah beberapa nama yang paling dilihat," jelasnya.

Memang seni kontemporer menarik lantaran memiliki campur tangan unsur humanis dan komentar sosial. Namun, dentuman arus pelukis baru kadang membuat seni dari gerakan ini cepat timbul-tenggelam.

Hal tersebut disetujui oleh Jos Parengkuan, Komisaris sekaligus salah satu pendiri PT Syailendra Capital. Ia bercerita bahwa ia adalah penggemar para old master Indonesia  dengan jenis lukisan fine art dan kurang menikmati seni kontemporer yang terkadang berat dicerna.

Salah satu karya seni yang ia miliki adalah hasil guratan maestro Affandi yang menggambarkan perihnya panas di Ka'bah, Mekkah bagai tujuh matahari yang membuat tanah suci bagai menguap. Ia membeli lukisan tersebut 10 tahun yang lalu.

Ketika ditanya mengenai harga, Jos tertawa dan merahasiakan harga belinya karena berniat akan menjualnya lagi pada saat yang tepat. "Namun kalau saya perkirakan, harganya mungkin sudah naik 20 kali lipat dari waktu beli," ujarnya.

Namun Jos mengaku bahwa ia adalah tipe penikmat lukisan yang tidak terlalu mengutamakan investasi, namun memang menyukai karya-karya seni para pujangga. Termasuk dalam koleksinya adalah karya Hendra Gunawan, Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres dan Srihadi Soedarsono.

Sedangkan mengenai lonjakan nilai investasi seni, Edwin Rahardjo, Ketua Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia (AGSI) menjelaskan, apresiasi harga pada karya seni Da Vinci tersebut lantaran infrastruktur seni Barat dan nama besar pujangga yang mendorong apresiasi dan minat pasar.

"Ada berapa puluhan museum, buku dan berapa orang dan majalah yang menyatakan itu hebat, sehingga harganya menjadi ratusan juta," jelasnya saat dihubungi Kontan.co.id.

Ibaratnya, karya kawakan seperti Leonardo Da Vinci bagai saham blue chip yang sangat langka, penuh histori maka mahal sekali. Sedangkan untuk Indonesia, sesungguhnya kita tidak kekurangan maestro lukisan.

Lihat saja pada tahun 2014, Indonesia sempat digemparkan dengan hasil lelang lukisan maestro Indonesia yakni S. Sudjojono yang dijual di lelang internasional senilai US$ 7,53 miliar atau setara Rp 80 miliar dan menjadi rekor penjualan tertinggi di Asia Tenggara.

Lukisan berjudul Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro (Our Soldiers Led Under Prince Diponegoro), berhasil terjual dengan harga tiga kali lipat dari estimasi Balai Lelang Sotheby’s di Hong Kong.

Amir meyakini karya yang melukiskan adegan pertarungan Pangeran Diponegoro dihadapan penjajah Belanda ini tidak dibeli atas motivasi finansial. "Saya rasa bukan motivasi keuangan, tapi lebih pada kedekatan sang pembeli dengan identitas Diponegoro," jelas Amir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati