Investasi, mesin pertumbuhan ekonomi



KONTAN.CO.ID. Performa perekonomian nasional belum mampu melonjak signifikan. Sepanjang 2015 hingga 2018, ekonomi hanya tumbuh di kisaran 5% per tahun, jauh dari apa yang ditargetkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Pada dokumen RPJMN 2015-2019 misalnya, pemerintah menargetkan pertumbuhan rata-rata 7% per tahun. Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia juga masih berada di bawah negara-negara tetangga seperti Vietnam, Myanmar, dan Filipina.

Indonesia sangat memerlukan pencapaian target level pertumbuhan ekonomi untuk memperbaiki kondisi fundamental ekonomi nasional yang selama ini relatif rapuh. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga menjadi syarat bagi Indonesia untuk bisa terlepas dari perangkap negara berpenghasilan menengah (middle income trap) menjadi negara berpenghasilan tinggi.


Dalam RPJMN, pemerintah memproyeksikan ekonomi Indonesia harus tumbuh stabil di kisaran 6%-8% per tahun untuk bisa naik kelas sebagai negara berpenghasilan tinggi di 2030.

Melihat proyeksi tersebut, kita dapat menyimpulkan, bahwa berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidaklah cukup. Pengalaman menunjukan, bahwa Indonesia sempat menikmati pertumbuhan ekonomi hingga 6% sebelum terjebak di level 5%. Karena itulah, pertumbuhan ekonomi tinggi dan bersifat jangka panjang menjadi sebuah keharusan.

Menurut teori ekonomi dari R.F. Harrod dan Evsey Domar, mesin pendorong pertumbuhan ekonomi tinggi dan bersifat jangka panjang adalah investasi. Investasi dipandang penting karena memiliki efek pengganda atau multiplier effects yang besar terhadap perekonomian sebuah negara. Seperti penyerapan tenaga kerja, meningkatkan daya beli masyarakat, dan menurunkan angka kemiskinan. Dalam jangka panjang, investasi akan memacu kapasitas produksi nasional sehingga berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan.

Permasalahan Investasi

Selama enam tahun ini, pertumbuhan investasi di Indonesia tidak menunjukan hasil yang menggembirakan. Kinerja investasi mengalami perlambatan dari tahun ke tahun. Pada 2012 misalnya, penanaman modal di Indonesia sempat tumbuh fantastis sebesar 30%. Namun, setelah itu pertumbuhan cenderung melambat dan di tahun 2018 investasi hanya mampu naik 4% saja.

Perlambatan laju investasi disebabkan pertumbuhan Penanaman Modal Asing (PMA) yang tidak mengalami kenaikan secara signifikan sejak 2012. Bahkan, pertumbuhannya merosot 8,8% di tahun 2018. Padahal, selama ini PMA menjadi aktor penting karena mendominasi pembentukan investasi di Indonesia.

Ada dua faktor dibalik melambatnya investasi asing di Indonesia. Pertama, faktor eksternal seperti sentimen perlambatan ekonomi global, hingga kenaikan suku bunga The Fed yang menyebabkan banyak investor asing mengalihkan investasi ke instrumen safe haven seperti dollar dan mengambil langkah wait and see.

Sedangkan penyebab kedua, yakni dari faktor internal adalah belum maksimalnya paket kebijakan ekonomi pemerintah. Salah satunya penerapan online single submission (OSS) yang masih menemui kendala. Pada akhirnya, Ease of Doing Business (EODB) Indonesia pada 2018 turun satu peringkat ke posisi 73.

Kondisi PMA berbanding terbalik dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sejak 2015, PMDN menunjukan tren positif.

Investasi lokal tumbuh rata-rata 20% setiap tahunnya. Akan tetapi, geliat positif investor lokal bisa saja terhambat di 2019. Pasalnya, perbankan sebagai penyalur kredit PMDN diprediksi mengalami masalah likuiditas pada 2019. Hal ini disebabkan oleh dua alasan.

Pertama, pemerintah beberapa tahun ini sangat gencar menerbitkan obligasi untuk menutupi defisit APBN. Sehingga, mengakibatkan pemerintah dan swasta khususnya perbankan saling berebut dana masyarakat.

Tingkat imbal hasil obligasi pemerintah yang tinggi dan tergolong bebas risiko, membuat masyarakat lebih tertarik menempatkan dana pada instrumen ini ketimbang produk perbankan.

Kedua, periode tahan dana (holding period) program amnesti pajak akan berakhir di 2019 yang berarti dana tersebut bisa mengalir kembali ke luar negeri.

Dua kondisi tersebut berpotensi memperketat likuiditas perbankan. Hal ini tentu berdampak pada pengereman laju penyaluran kredit dan peningkatan suku bunga simpanan yang akhirnya turut mengerek naik suku bunga kredit. Padahal, kenaikan suku bunga kredit adalah sentimen negatif bagi investor domestik, mengingat biaya modal jadi lebih mahal.

Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk menjadikan investasi sebagai penopang utama ekonomi nasional. Pertama, mempercepat perbaikan iklim investasi. Pemerintah pusat dan daerah harus segera melakukan konsolidasi terkait implementasi OSS. Selain itu, penyelarasan kebijakan ekonomi pusat dan daerah juga wajib menjadi perhatian dikarenakan banyak investor yang mengalami kendala di tingkat daerah.

Bila kondisi ini tidak ditangani secara cepat, akan berdampak pada inefisiensi birokrasi, sehingga biaya investasi di Indonesia menjadi tinggi. Hal ini tercermin dari Incremental Capital Output Ratio (ICOR), sebuah indikator yang mengukur efisiensi investasi di suatu negara. Sejak 2014, ICOR Indonesia selalu ada di atas 5%. Padahal, rata-rata ICOR di kawasan Asia Tenggara 3%.

Kedua, memprioritaskan pembangunan konektivitas infrastruktur. Dalam The Global Competitiveness Report 2018, peringkat konektivitas jalan di Indonesia masih di bawah negara tetangga seperti Vietnam dan Thailand. Di sisi lain, integrasi infrastruktur merupakan faktor penting meningkatkan daya saing logistik di ASEAN. Menurut Logistic Performance Index (LPI) 2018, kinerja logistik Indonesia masih kalah dibandingkan Thailand, Vietnam, dan Malaysia.

Ketiga, pemerintah selayaknya menganalisis kembali dampak kebijakan fiskal ekspansif terhadap sektor perbankan. Karena selama ini mayoritas PMDN bergantung pada kucuran kredit perbankan. Selain itu, perlu dipersiapkan dan dibuat instrumen investasi yang menarik agar dana repatriasi tax amnesty tetap mengendap di Indonesia.

Melalui peningkatan investasi, Indonesia tak hanya menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi juga bersifat jangka panjang sebagai modal untuk keluar dari jebakan middle income trap.

Dendy Indramawan Asisten Peneliti, Institute For Development of Economics and Finance

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi