KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi investasi di sektor mineral dan batubara (minerba) tampaknya masih terkendala. Data per kuartal III-2018 menunjukkan, realisasi investasinya masih berada di angka US$ 1,6 miliar atau baru sekitar 25,8% dari target yang dipatok tahun ini sebesar US$ 6,2 miliar. Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono berdalih, angka realisasi investasi yang masih minim itu karena data yang belum sepenuhnya terkumpul. Ia pun menyebut bahwa pada pekan depan, pihaknya akan memanggil perusahaan-perusahaan agar segera bisa mengumpulkan data yang diperlukan. “Datanya belum terkumpul seluruhnya. Kita sedang minta segera untuk memasukkan. Minggu depan ini sudah memanggil perusahan untuk bisa memasukkan semua datanya,” ujar Bambang kepada Kontan.co.id, Minggu (28/10).
Selain itu, Bambang bilang, realisasi investasi yang masih seperempat dari target itu terjadi karena adanya keterlambatan belanja modal atau
capital expenditure (capex) dari sejumlah perusahaan. Alhasil, capaian investasi yang ada sampai saat ini belum optimal. “Terjadi keterlambatan investasi capex beberapa perusahaan. Ya masih perencanaan, realisasinya mungkin masih belum,” imbuhnya. Namun di sisi lain, menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, harga komoditas, khususnya komoditas utama seperti batubara yang cenderung meningkat, seharusya bisa menjadi insentif untuk meningkatnya investasi. Terlebih, lanjut Komaidi, permasalahan di subsektor minerba tidak sekompleks di minyak dan gas (migas). “Di minerba setahu saya tidak sekompleks di migas. Dari sisi harga juga harusnya menjadi insentif,” kata Komaidi. Komaidi menilai, kepastian investasi masih menjadi kunci agar realisasi bisa optimal. Sekali pun Kementerian ESDM rajin menyuarakan bahwa pihaknya telah melakukan sejumlah deregulasi yang dinilai menghambat investasi, itu belum cukup jika tidak diikuti dengan sinkronisasi, baik antar kementerian atau lembaga terkait, juga pemerintah daerah. “Deregulasi yang terjadi baru di lingkup ESDM. Sementara di sektor ESDM paling tidak terdapat sekitar 17 Kementerian dan Lembaga yang menjadi penentu. Kepastian akan menjadi kunci untuk mereka memutuskan investasi ditambah atau tidak,” imbuhnya. Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir. Ia bahkan mengaku heran, dengan harga komoditas yang relatif bagus, deregulasi, serta komitmen pengusaha untuk ikut serta dalam sejumlah program yang dibuat pemerintah, sehingga seharusnya bisa menambah investasi di subsektor ini. “Mungkin ini jarang terjadi, dimana harga naik, investasinya malah tidak ikut naik. Kami juga sudah
support pemerintah. Misal, B20, buat alat-alat, kami
support, walaupun itu menambah
cost. Untuk
convert posisi keuangan menjadi rupiah (terkait kebijakan wajib L/C atau Devisi Hasil Ekspor di bank domestik), kami juga
support. Dari sisi industri kami ikuti deh semua keinginan pemerintah,” katanya. Pandu mengindikasikan, terhambatnya realisasi investasi di subsektor minerba disebabkan masih adanya sejumlah ketidakpastian. Di batubara, misalnya, menurut Pandu, ada dua isu yang disoroti pengusaha. Yaitu soal kebijakan
domestic market obligation (DMO), terutama soal harga, serta status kontrak seperti Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Soal DMO, lanjutnya, hingga kini masih belum jelas bagaimana kejelasan mengenai rekonsiliasi data jumlah pasokan, transfer kuota, serta kelanjutan sanksi yang bisa dikenakan kepada perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban. Padahal, kejelasan dari persoalan ini bisa berdampak pada investasi di tahun ini, dan penyusunan rencana perusahaan di tahun depan. “
Settlement DMO bagaimana? Secara
short time, perusahaan mau buat
budget tapi sampai mau November masih ada ketidakpastian,” ujarnya. Sedangkan soal status PKP2B dengan IUPK, Pandu bilang, itu menyangkut kejelasan besaran pajak, royalty, serta durasi perpanjangan kontrak. Dalam jangka panjang, kejelasan dalam hal-hal tersebut akan sangat menentukan kelancaran investasi di subsektor ini. Investasi di hilirisasi Adapun, menurut pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattof, tantangan terbesar bagi investasi di subsektor minerba masih sama pasca dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 atau UU Minerba. Yakni menyangkut hilirisasi atau peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Dalam hal ini, Abra menyoroti soal kebijakan relaksasi ekspor mineral, yang menurutnya rasional, tapi tetap harus tetap proporsional. Artinya, secara pragmatis dan jangka pendek, relaksasi ekspor mineral memang positif dilihat dari sisi bisnis dan penerimaan negara. Namun, jika terus menerus dilakukan, relaksasi ini bisa menjadi disinsentif bagi realisasi investasi, karena bisa membuat investasi perusahaan untuk membangun pabrik pemurnian dan pengolahan (smelter) menjadi kurang optimal. Karenanya, pemerintah juga mesti konsisten dan tegas dengan upaya hilirisasi ini. “
Make sense, secara pragmatis jangka pendek, pemerintah rasional dengan relaksasi, karena PNBP bisa tercapai, bahkan melebihi target. Cuma itu jangan kepanjangan, walaupun ada relaksasi, tapi mestinya ada
limit juga. Soal komitmen pemerintah dan perusahaan (dalam melakukan hilirisasi),” ungkapnya.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Komaidi. Ia pun menilai, bukan tak mungkin, investasi smelter yang berjalan lambat terjadi karena adanya kelonggaran yang terus menerus dilakukan. “Saya kira ada betulnya, adanya kelonggaran membuat perkembangan pembangunan smelter menjadi relatif terhambat,” katanya. Akan tetapi, di lain sisi, Bambang tetap meyakini, bahwa investasi di sub sektor minerba bisa
on track, minimal mendekati target. Bambang masih enggan menyebutkan berapa target realistis yang hendak dicapai dengan melihat capaian yang ada saat ini. Bambang bilang, estimasi akan dilakukan setelah melihat data yang terkumpul, paling tidak pada akhir November mendatang. “Belum tahu, ya paling tidak mendekati. Nanti coba sampai akhir bulan November, baru kita tahu estimasinya,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati