KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nasabah banyak menarik diri dari investasi reksadana. Hal itu tercermin dari
net redemption (jual bersih) industri reksadana sebesar Rp 75,94 triliun
year to date (YtD), per 31 Mei 2024. Tren penarikan dana investasi reksadana di 5 bulan pertama tahun 2024 ini, berbalik dari tren
net subscription (beli bersih) di sepanjang tahun 2023 lalu yang sebesar Rp8,98 triliun. Industri reksadana tahun ini kembali tertekan seperti tahun 2022, dengan catatan
net redemption sebesar Rp 78,34 triliun di sepanjang tahun tersebut. Dalam konferensi pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Senin (10/6), Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif & Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi mengatakan bahwa di industri pengelolaan investasi, nilai
asset under management (AUM) tercatat sebesar Rp822,48 triliun atau turun 0,27% YtD.
Dari jumlah tersebut, Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksadana tercatat sebesar Rp482,23 triliun atau turun 3,83% YtD, dengan
net redemption terpantau sebesar Rp75,94 triliun YtD per 31 Mei 2024.
Baca Juga: Return Masih Minus, Prospek Reksadana Saham Masih Dianggap Menarik Direktur Batavia Prosperindo Aset Manajemen (BPAM) Eri Kusnadi menilai, penurunan dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) reksadana mungkin disebabkan oleh kinerja aset dasar yang kurang bertenaga. Di samping itu, kemungkinan memang terjadi
net redemption seiring kondisi pasar masih penuh ketidakpastian. Eri menjelaskan, berkurangnya dana kelolaan reksadana ini wajar apabila dikaitkan dengan turunnya performa aset dasar (
underlying asset) seperti saham. Sebab, pasar ekuitas memang tengah terguncang yang terlihat dari koreksi IHSG sekitar -4,15% YtD, per Mei 2024. Dana kelolaan reksadana saham pun akibatnya terseret koreksi. AUM reksadana saham terpantau telah berkurang sekitar Rp 10 triliun dari awal tahun hingga akhir Mei 2024, terbesar di antara kelas aset reksadana lainnya. “Saya rasa cukup wajar dugaannya penurunan dana kelolaan itu dari pasar saham,” kata Eri saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (10/6).
Baca Juga: Sell In May and Go Away di Bursa, Mitos Atau Fakta? Di samping itu, Eri mencermati, adanya kemungkinan dana kelolaan reksadana tahun ini berpindah ke instrumen investasi lain dengan daya tarik lebih tinggi. Investor mungkin membeli emas yang selalu unjuk gigi saat kondisi pasar tertekan. Produk Surat Berharga Negara (SBN) Ritel turut menjadi perhatian karena investasi yang aman dengan tawaran kupon tinggi. “Yang jelas apapun itu, apabila aset lain kebetulan berikan kinerja naik, ya mungkin bisa jadi daya tarik,” tambahnya. Oleh karena itu pula, Eri menganggap bahwa
net redemption reksadana tersebut bukan karena kekhawatiran terhadap kondisi pasar semata, melainkan karena banyak investor yang oportunis untuk eksplor pindah ke aset lain. Adapun suku bunga tinggi untuk jangka waktu lama (
higher for longer) dinilai masih menjadi risiko utama yang membuat kepercayaan pasar semakin tertekan. Bunga tinggi akan menjadi beban tinggi juga bagi perekonomian yang semakin memberikan kehati-hatian bagi pelaku pasar.
Baca Juga: Meski Tertekan, Prospek Reksadana Saham Dinilai Tetap Menarik “
Net redemption mungkin juga karena investor butuh kas untuk keluar dulu melihat ketidakpastian ini sampai kapan,” tutur Eri. Namun demikian, Eri mengharapkan dana kelolaan reksadana bisa kembali bertumbuh dan stabil di atas Rp 500 triliun pada semester kedua 2024. Faktor pendorong pertumbuhan AUM ialah potensi kembalinya dana ke instrumen saham yang dipandang sudah terkoreksi cukup dalam. Potensi
rebound atau berbalik menguatnya saham terbuka apabila pasar saham global cukup bagus kinerjanya terkhusus di sektor teknologi. Dengan asumsi tersebut, reksadana
offshore syariah mungkin akan berkontribusi cukup bagus untuk pertumbuhan AUM industri reksadana seiring strateginya fokus di saham teknologi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati