KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski dibayang-bayangi oleh tingginya impor bahan baku, investasi di sektor industri petrokimia tetap melaju. Mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemperin) hingga tahun 2025 mendatang setidaknya ada 11 rencana investasi yang siap dilaksanakan mulai tahun ini. Muhammad Khayam, Direktur Industri Kimia Hulu Kemperin, mengatakan, terdapat tiga rencana investasi pabrik petrokimia yang paling besar untuk segera direalisasikan.
Pertama, proyek industri metanol menjadi olefin di Teluk Bintuni, Papua Barat dengan investasi sekitar US$ 2,5 miliar. Investor potensial dalam proyek ini adalah PT Pupuk Indonesia, Sojitz, Ferrostaal, dan LG. Proyek ini diperkirakan dilelang pada Oktober 2018 ini dan beroperasi pada tahin 2021 atau 2022.
Kedua, proyek industri
naphtha cracker milik PT Chandra Asri. Proyek ini terdiri atas dua segmen yaitu proyek peningkatan kapasitas dan pembangunan
cracker baru. Investasi proyek peningkatan kapasitas sebesar US$ 5,442 miliar, sedangkan proyek pembangunan
twin cracker baru senilai US$ 5 miliar.
Ketiga, proyek industri
naphtha milik Lotte Chemical di Cilegon, Banten dengan investasi sebesar US$ 3,5 miliar. Proyek ini diproyeksikan selesai tahun 2023. "Minat investor ini sudah mulai banyak. Sebenarnya mulai dari tahun 2011, ketika Indonesia medapat
investment grade itu, kemudian
tax holiday," ujar Khayam, Kamis (25/1). Selain minat investasi yang positif, permintaan produk petrokimia dalam negeri juga bertumbuh. Tahun ini, diperkirakan dapat meningkat sebesar 6% sampai 7%. Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengejar target tersebut. Di antaranya mendorong realisasi penurunan harga gas menjadi US$ 6 per mmbtu dan revisi bea masuk
liquefied petroleum gas (LPG) dari 5% menjadi 0%. Impor bahan baku Ketergantungan bahan baku industri petrokimia masih sangat besar. Tercatat, dari total kebutuhan bahan baku industri petrokimia dalam negeri sebanyak 5,6 juta ton per tahun, hampir separuhnya dipenuhi dari impor. "Tidak adanya perkembangan signifikan pada investasi di sektor petrokimia dua dekade terakhir berdampak pada minimnya suplai kebutuhan akan produk petrokimia dari pabrikan dalam negeri," terang Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Industri, Johnny Darmawan. Melihat kondisi seperti ini, Johnny menilai, industri petrokimia nasional masih akan sulit bersaing. Oleh karenanya, perlu pembenahan struktur industri antara hulu minyak dan gas (migas) dengan hilir. Perlu dicatat, industri petrokimia merupakan sektor strategis, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius. Apalagi industri turunan sangat membutuhkan industri petrokimia s untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Rauf Purnama, Ketua Komite Tetap Industri Kimia & Petrokimia Kadin menyuarakan hal senada. Menurutnya, industri petrokimia berkontribusi besar ke negara karena menambah devisa dari produk-produk ekspor. Agar industri petrokimia berjalan dengan baik dan berkelanjutan, perlu sinergi yang baik dengan industri hulu migas. "Industri petrokimia punya posisi strategis dalam pembangunan industri secara keseluruhan dalam rantai produksi lintas sektor industri," ujar Rauf. Kadin mengatakan, ada empat poin supaya industri petrokimia dapat lebih menggeliat. Yakni, ketersediaan bahan baku dan energi dengan harga kompetitif, Kebijakan yang mendukung industri petrokimia, pengembangan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan penggunaan produk dalam negeri, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto