Jakarta. Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang cenderung fluktuatif, Kementerian Keuangan cukup merasa senang. Dari tiga seri Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara yang dilelang 15 Juli 2014 lalu, dua seri di antaranya berhasil dilego, yakni seri PBS0055 (reopening) dan PBS006 (reopening). Memang, nilai lelang yang dimenangkan cuma Rp 245 miliar, jauh di bawah target indikatif Rp 1,5 triliun. Namun, ini bisa dimaklumi, sebab investor meminta yield yang cukup tinggi untuk seri SPSN-S 02012015, yakni antara 6,71875% hingga 7,31250%. Padahal, kalau mau dituruti, nilai penawaran yang masuk untuk seri ini paling tinggi, mencapai Rp 1,271 triliun. Ariawan, analis obligasi di NISP Securities, mengatakan, hasil lelang sukuk negara tersebut mencerminkan permintaaninvestor terhadap produk investasi syariah cukup besar. Kalau dilihat secara historis, nilai penerbitan sukuk tumbuh 10%– 15% tiap tahun. Khusus untuk tahun 2014 saja, sejak awal tahun hingga lelang 15 Juli 2014 kemarin, nilai total sukuk negara lewat lelang mencapai Rp 12 triliun. “Masih ada delapan kali lelang lagi. Kalau rata-rata Rp 1 triliun tiap lelang, tahun ini negara bisa dapat sekitar Rp 20 triliun,” ujar Ariawan.
Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk syariah juga bisa dilihat dari performa produk exchange traded fund (ETF) syariah yang dikelola PT Indo Premier Investment Management. Produk ETF syariah pertama di Indonesia itu bernama Premier ETF Syariah Jakarta Islamic Indeks. Nah, sejak diluncurkan 30 April 2013, sambutan investor terhadap produk ini cukup bagus. Menurut Direktur Indo Premier Investment Management Diah Sofianti, hal ini terlihat dari total dana kelolaan atau asset under management (AUM) produk yang diperdagangkan dengan kode XIJI ini sudah mencapai Rp 320 miliar. “Padahal, tadinya kami targetkan akhir tahun ini AUM cuma Rp 100 miliar,” ujar dia. Produk terbatas Tingginya permintaan terhadap instrumen investasi syariah seiring dengan terbatasnya jumlah dan variasi produk investasi syariah di Indonesia. Regulasi di Indonesia baru mengenal dan mengizinkan investasi di saham syariah, sukuk, dan reksadana syariah. Sementara, produk seperti efek beragun aset (EBA) syariah, aturannya masih sedang dalam proses penyempurnaan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kondisi ini terjadi lantaran investasi syariah memang masih termasuk barang baru di Indonesia. Penerbitan sukuk, kata Ariawan, baru marak di Indonesia lima tahun terakhir. Di industri reksadana, jumlah produk syariah juga masih sedikit. Berdasarkan data OJK per 27 Juni 2014, jumlah reksadana syariah cuma 65 produk dari total 828 reksadana. Sementara, nilai aktiva bersih (NAB) reksadana syariah cuma Rp 9,171 triliun atau sekitar 4,38% dari total NAB reksadana, yang sebesar Rp 209,508 triliun. Jumlah reksadana syariah ini sama dengan posisi per 30 Desember 2013. Ini lebih karena ada beberapa produk reksadana syariah yang jatuh tempo di semester pertama 2014. Kalau dirunut, sejatinya ada beberapa produk baru yang muncul di paruh pertama tahun ini. Salah satunya, reksadana campuran syariah dari PT CIMB-Principal Asset Management, yakni CIMB Principal Balanced Growth Syariah. Di pasar saham, Daftar Efek Syariah (DES) baru dirilis pertama kali 12 September 2007. Meski begitu keraguan masyarakat soal halal-haram investasi saham masih terus menguar. Baru pada 8 Maret 2011, DSN MUI merilis fatwa baru mengenai tata cara melakukan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang berlandaskan prinsip syariah. Dari sini Bursa Efek Indonesia lantas merilis Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), melengkapi Jakarta Islamic Index yang telah ada sebelumnya. Boleh dibilang, kehadiran ISSI inilah yang memacu investasi saham syariah lebih marak di Tanah Air. Maklum, daftar saham pengisi indeks ini mencapai ratusan emiten. Sementara, JII cuma berisi 30 saham syariah pilihan. Bagi industri reksadana, kehadiran ISSI membuat manajer investasi lebih leluasa merakit produk lantaran basis portofolionya lebih besar. Potensi pasar besar Potensi pasar syariah yang bisa digarap sejatinya sangat besar. Penopangnya apalagi kalau bukan jumlah penduduk Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Sayang, belum banyak masyarakat muslim yang bisa menjangkau produk-produk investasi, termasuk yang berbasis syariah. Masyarakat muslim Indonesia yang berada di kelas menengah belum terlalu banyak dan masih dalam proses pertumbuhan. “Makanya pangsa pasar hampir semua sektor industri syariah kurang lebih cuma sekitar 5%-an,” kata Iggi H. Achsien, anggota Badan Pelaksana Harian Bidang Pasar Modal dan Program Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Mengukur kondisi saat ini, Iggi menilai, baru pada tahun 2020 pangsa pasar bisa tumbuh dua digit. Pada saat itu, Indonesia diprediksi bakal menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di dunia. “Saat itu kelas menengah muslim semakin meningkat. Maka, Indonesia sudah pasti akan menjadi sasaran utama produk investasi syariah dunia,” katanya.
Selain itu, praktik di lapangan, masih banyak masyarakat yang potensial menjadi investor namun belum bisa dirangkul. Penyebabnya, edukasi kepada masyarakat masih belum terlalu optimal. “Kalau untuk investor ritel, sangat banyak yang masih bertanya-tanya soal halal-haram investasi saham,” kata analis MNC Securities Reza Nugraha. Wah, pekerjaan rumahnya masih banyak, ya. ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 43 - XVIII, 2014 Laporan Utama Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Imanuel Alexander