JAKARTA. Investor tambang asing mengelus dada akan carut marut bisnis pertambangan di Tanah Air. Lihat saja, beberapa investor asing harus berurusan dengan hukum lantaran janji bisnisnya dengan perusahaan lokal berujung wanprestasi. Yang mutakhir adalah kasus Intrepid Mines Limited yang merasa ditipu sekondan lokalnya. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Peribahasa itu sepertinya pas menggambarkan nasib Intrepid Mines Limited, perusahaan tambang emas asal Australia yang proyeknya terancam gagal lantaran PT Indo Multi Niaga, mitranya dalam proyek tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi, Jawa Timur diduga mengalihkan hak kepemilikan yang seharusnya digenggam Intrepid ke pihak ketiga. Indo Multi rupanya ngiler menguasai Tumpang Pitu karena diperkirakan cadangan emas di sana mengalahkan cadangan emas di Batu Hijau yang dikelola Newmont Nusa Tenggara. Intrepid mencatat, cadangan mineral di Tumpang Pitu sekitar 6,8 miliar kilogram tembaga dan 25 juta ons troi emas.Wakil Ketua Indonesia Mining Association (IMA) yang juga Executive General Manager Intrepid-Indonesia Tony Wenas mengungkapkan, Indonesia merupakan lima besar negara di dunia yang memiliki sumber daya alam terbesar, khususnya untuk mineral. "Makanya banyak investor asing ingin investasi di sini," kata dia.Bahkan kata dia, Intrepid sendiri rela melepas beberapa asetnya berupa pertambangan di Chile dan Equador untuk fokus menggarap bisnis di Indonesia. "Bukan hanya Intrepid, Freeport juga setelah ketemu tambang di Gresberg, Papua, mereka lepas aset-asetnya dan fokus ke Indonesia," ungkap Tony yang pernah menjabat Direktur & Wakil Presiden Eksekutif Freeport Indonesia selama 10 tahun itu.Menurutnya, tipikal investor tambang asing dalam berbisnis akan fokus bila telah menemukan aset di sebuah negara. Sayangnya, keinginan mereka berinvestasi di Tanah Air sering tidak sejalan dengan kepentingan partner di Indonesia.Kata dia, banyak kasus di mana mitra lokal tidak menghormati perjanjian kerjasama penggarapan tambang. Alhasil, kata Tony, muncul banyak sengketa bisnis yang berakhir di meja hijau. "Kalau mau dibilang, kepercayaan investor asing khususnya investor barat itu sudah hilang untuk bisnis tambang di sini," ungkap dia.Menurutnya, kasus Intrepid bukan satu-satunya yang membuat kepercayaan investor asing luntur, tetapi juga kasus Churchill Mining Plc yang didepak Nusantara Energy. Nusantara Energy adalah pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di Kabupaten Kutai Timur, Kaltim, yang ketika itu habis masa berlakunya.Namun, kata Tony, ketika Churchill melalui mitranya bernama Grup Ridlatama mengambil alias IUP tersebut atas izin bupati baru, maka ditemukanlah cadangan batubara sebesar 3,8 miliar metrik ton. "Kasus Churchill itu sama seperti Intrepid, kami yang menemukan cadangan, lalu disingkirkan," ungkap dia.Masalah serius di bisnis pertambangan lain adalah adanya izin yang tumpang tindih. Thamrin Sihite, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mencontohkan, banyak kepala daerah menerbitkan IUP dalam satu wilayah kerja untuk dua perusahaan yang berbeda. Thamrin bilang, masalah itu mulai banyak bermunculan setelah kebijakan pembentukan pemekaran kabupaten. Di mana, kepala daerah di kabupaten baru tersebut mengeluarkan IUP anyar di atas wilayah kerja perusahaan lain yang telah memegang izin sebelumnya.Masalah ini akan tetap terjadi setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan izin tambang adalah hal daerah. "Tentu ini akan makin susah kalau izin kembali ke Pemda," kata Bob Kamandanu, Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI). (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Investor Asing Tak Lagi Percaya Berbisnis Tambang
JAKARTA. Investor tambang asing mengelus dada akan carut marut bisnis pertambangan di Tanah Air. Lihat saja, beberapa investor asing harus berurusan dengan hukum lantaran janji bisnisnya dengan perusahaan lokal berujung wanprestasi. Yang mutakhir adalah kasus Intrepid Mines Limited yang merasa ditipu sekondan lokalnya. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Peribahasa itu sepertinya pas menggambarkan nasib Intrepid Mines Limited, perusahaan tambang emas asal Australia yang proyeknya terancam gagal lantaran PT Indo Multi Niaga, mitranya dalam proyek tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi, Jawa Timur diduga mengalihkan hak kepemilikan yang seharusnya digenggam Intrepid ke pihak ketiga. Indo Multi rupanya ngiler menguasai Tumpang Pitu karena diperkirakan cadangan emas di sana mengalahkan cadangan emas di Batu Hijau yang dikelola Newmont Nusa Tenggara. Intrepid mencatat, cadangan mineral di Tumpang Pitu sekitar 6,8 miliar kilogram tembaga dan 25 juta ons troi emas.Wakil Ketua Indonesia Mining Association (IMA) yang juga Executive General Manager Intrepid-Indonesia Tony Wenas mengungkapkan, Indonesia merupakan lima besar negara di dunia yang memiliki sumber daya alam terbesar, khususnya untuk mineral. "Makanya banyak investor asing ingin investasi di sini," kata dia.Bahkan kata dia, Intrepid sendiri rela melepas beberapa asetnya berupa pertambangan di Chile dan Equador untuk fokus menggarap bisnis di Indonesia. "Bukan hanya Intrepid, Freeport juga setelah ketemu tambang di Gresberg, Papua, mereka lepas aset-asetnya dan fokus ke Indonesia," ungkap Tony yang pernah menjabat Direktur & Wakil Presiden Eksekutif Freeport Indonesia selama 10 tahun itu.Menurutnya, tipikal investor tambang asing dalam berbisnis akan fokus bila telah menemukan aset di sebuah negara. Sayangnya, keinginan mereka berinvestasi di Tanah Air sering tidak sejalan dengan kepentingan partner di Indonesia.Kata dia, banyak kasus di mana mitra lokal tidak menghormati perjanjian kerjasama penggarapan tambang. Alhasil, kata Tony, muncul banyak sengketa bisnis yang berakhir di meja hijau. "Kalau mau dibilang, kepercayaan investor asing khususnya investor barat itu sudah hilang untuk bisnis tambang di sini," ungkap dia.Menurutnya, kasus Intrepid bukan satu-satunya yang membuat kepercayaan investor asing luntur, tetapi juga kasus Churchill Mining Plc yang didepak Nusantara Energy. Nusantara Energy adalah pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) batubara di Kabupaten Kutai Timur, Kaltim, yang ketika itu habis masa berlakunya.Namun, kata Tony, ketika Churchill melalui mitranya bernama Grup Ridlatama mengambil alias IUP tersebut atas izin bupati baru, maka ditemukanlah cadangan batubara sebesar 3,8 miliar metrik ton. "Kasus Churchill itu sama seperti Intrepid, kami yang menemukan cadangan, lalu disingkirkan," ungkap dia.Masalah serius di bisnis pertambangan lain adalah adanya izin yang tumpang tindih. Thamrin Sihite, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM mencontohkan, banyak kepala daerah menerbitkan IUP dalam satu wilayah kerja untuk dua perusahaan yang berbeda. Thamrin bilang, masalah itu mulai banyak bermunculan setelah kebijakan pembentukan pemekaran kabupaten. Di mana, kepala daerah di kabupaten baru tersebut mengeluarkan IUP anyar di atas wilayah kerja perusahaan lain yang telah memegang izin sebelumnya.Masalah ini akan tetap terjadi setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan izin tambang adalah hal daerah. "Tentu ini akan makin susah kalau izin kembali ke Pemda," kata Bob Kamandanu, Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI). (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News