Investor asing tertarik, haruskah kita melirik?



Jakarta. Indonesia sepertinya masih menjadi tujuan para investor untuk membiakkan duit, tak terkecuali di sektor ritel. Maklumlah, saat situasi perekonomian Eropa dan Amerika Serikat melambat, roda ekonomi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, malah kian kencang berputar.Alasannya klasik namun masih berlaku sampai saat ini. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk lebih dari 240 juta jiwa, yang minimal harus dipenuhi kebutuhan dasarnya.Bagusnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil, terutama dalam beberapa tahun terakhir. Tahun ini secara makro, ekonomi diproyeksikan bisa tumbuh di atas 6%. Sementara target inflasi 2013 diharapkan bisa berada di level 4,5% (plus minus 1%).Lantas, pendapatan per kapita juga terus meningkat, kini mencapai US$ 3.500. Artinya, daya beli masyarakat kian menguat. “Kelas menengah di Indonesia sudah mencapai 90 juta orang,” kata analis saham First Asia Capital, David Nathanael Sutyanto.Faktor lain, kata analis B-Trade Trading Course Research Team, Alvian Andrean, pengembangan infrastruktur Indonesia yang pesat selama beberapa tahun terakhir masih akan berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini akan mempermudah akses dan lalu-lintas perdagangan.Apabila pertumbuhan ekonomi nasional dapat bertahan di kisaran 6% dan upah minimum regional (UMR) serta tarif dasar listrik (TDL) tidak melonjak drastis, diperkirakan selama tahun 2013 bisnis ritel bisa naik 8%–10%. Asal tahu saja, tahun lalu omzet bisnis ritel nasional menembus Rp 135 triliun.Kian memikat asingDi sisi lain, banyak negara di dunia megap-megap dihajar krisis. David unjuk contoh nyata yang terjadi di Negeri Sakura, Jepang. Tingkat konsumsi masyarakat di negara itu tak jua membaik. Indikasinya, Consumer Price Index (CPI) yang diumumkan 28 Maret 2013 masih berada di level –0,3%.Bukan pekerjaan mudah mengerek inflasi hingga 2% tahun ini seperti yang ditargetkan Bank of Japan. Sebab, Jepang sudah mengalami deflasi secara berturut-turut sejak bulan Juni 2012, kecuali November 2012 ketika CPI ada di level 0%. “Banyak orang di Jepang sekarang enggak mau beli soft drink, tapi memilih membawa air minum dari rumah,” kata David.Makanya tak aneh bukan, jika investor asing mulai berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Meski belum diketahui kapan waktunya, Reuters melansir peritel asal China, yakni Sun Art Retail Group Ltd, berencana masuk ke Indonesia.Lebih seru lagi rencana yang datang dari Aeon Mall Ltd. Peritel asal Jepang yang memiliki 2.300 gerai itu masuk sekaligus di lima negara Asia Tenggara, yaitu Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, serta Indonesia. Untuk convenience store, Aeon sudah menggandeng PT Bahagia Niaga Lestari selaku mitra lokal. Perusahaan ini tadinya milik PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), pemilik jaringan Ranch Market dan Farmers Market di Indonesia.Sebelumnya, Aeon dikabarkan menunjukkan minat menguasai sebagian saham PT Matahari Department Store Tbk (LPPF). Namun belakangan mundur karena tak sepakat soal harga jual.Model ekspansi asing yang paling anyar bisa dilihat dari private placement saham LPPF kepada 222 investor, yang mayoritas asing. Sebelumnya, sejak 2010, kepemilikan mayoritas perusahaan empunya Matahari Department Store itu sudah dikempit private equity global, CVC Capital Partners.Kabar lain menyebut, perusahaan ritel global, Dairy Farm International Holding Ltd berniat membeli 30% saham PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Saat ini 55,88% saham RALS dikuasai PT Ramayana Makmur Sentosa dan sisanya, 44,12% dimiliki oleh publik.Yang menjadi pertanyaan, apakah cerita-cerita indah tadi lantas berpengaruh terhadap emiten ritel terkait? KONTAN mengupas dua emiten ritel LPPF dan RALS yang ramai dibicarakan karena menjadi sasaran investor asing.LPPFAksi korporasi yang dilakukan LPPF baru-baru ini cukup memancing perhatian pemain saham di bursa Indonesia.Pada 25 Maret 2013 dua pemilik saham LPPF, yaitu Asia Color Company Ltd (ACC) dan PT Multipolar Tbk (MLPL) melepas 39,95% saham LPPF kepada 222 investor. Harga yang disepakati adalah sebesar Rp 10.850 per saham. Sehingga total transaksi ini mencapai nilai Rp 14,6 triliun. Perinciannya, ACC menjual 35,53% senilai sekitar Rp 13,2 triliun dan MLPL melepas sekitar 4,4% senilai hampir Rp 1,4 triliun.Sebagai informasi, Asia Color merupakan perusahaan yang dimiliki oleh CVC Capital Partners. Sementara MLPL, seperti yang sudah diketahui adalah milik Grup Lippo.Sekretaris Perusahaan LPPF Miranti Hadisusilo menyebut, komposisi kepemilikan saham LPPF pasca ransaksi ini berubah menjadi 37,7% setara 2.137.373.131 saham dipegang ACC. Sebanyak 726.561.500 saham atau 20,5% dimiliki oleh MLPL. Terakhir, sebanyak 1.099.235.131 saham atau 41,8% dikeroyok publik, termasuk oleh 222 investor baru tadi.Kalau ditarik ke belakang, sejak akuisisi CVC Capital terhadap saham LPPF pada 2010 alias tidak sampai tiga tahun, harga saham LPPF sudah melonjak dari Rp 2.706 per saham menjadi Rp 10.850 per saham, atau sekitar 301%.Namun, kenaikan harga saham yang luar biasa tidak serta- merta membuat saham ini jadi menarik. Selain karena harganya yang sudah dianggap terlalu tinggi, volume transaksi saham LPPF tergolong kecil.Betul, setelah private placement kepemilikan publik menggelembung dari 1,85% menjadi 41,8%. Tapi mesti diingat, sebagian besar saham publik ini digenggam oleh 222 investor institusi.Sudah menjadi pengetahuan umum, investor kelas kakap macam begini lebih senang mengempit saham dalam waktu lama ketimbang bertransaksi jangka pendek. “LPPF ini perusahaan bagus tapi sahamnya tidak bagus,” kata David.Terlepas dari aksi investor asing dan group Lippo tadi, secara fundamental LPPF memang bagus. Hingga Desember 2012, mereka sudah memiliki sebanyak 116 toko Matahari Department Store (MDS) yang lokasinya tersebar di lebih dari 50 kota Indonesia.Khusus tahun ini, manajemen LPPF mengungkap rencana penambahan 15 gerai Matahari Department Store. Target ini memang sedikit lebih banyak ketimbang tahun lalu, ketika LPPF menambah 13 gerai.Pembangunan toko baru membutuhkan investasi sekitar Rp 2,5 juta per meter persegi, bergantung pada lokasi dan tata letak toko. Toko-toko MDS biasanya memiliki luas berkisar mulai dari 5.000 meter persegi sampai 9.000 meter persegi.Penyebaran gerainya nanti, sekitar 65% di Pulau Jawa. Kontribusi dari wilayah ini terhadap pendapatan LPPF juga cukup signifikan, mencapai 62%. Hal ini membuat Kepala Riset Bahana Securities Harry Su yakin, LPPF bakal lebih terlindung dari dampak penurunan harga komoditas yang menjadi andalan di luar Jawa.Secara konservatif, dalam risetnya, Harry memproyeksikan penjualan dan laba bersih LPPF 2013 bisa tumbuh masing-masing 25% ketimbang tahun lalu. Hampir serupa, David juga memperkirakan pendapatan LPPF bisa mencapai sekitar 20% dengan laba bersih mengalami kenaikan 25%.Sebagai patokan, tahun lalu Matahari Department Store mampu meraup pendapatan sebesar Rp 5,617 triliun. Sementara laba bersihnya tercatat sebesar Rp 771 miliar.Meski mengakui secara fundamental LPPF adalah perusahaan yang bagus, David tidak merekomendasikan saham Matahari Department Store untuk investor ritel. Alasannya saham ini tidak likuid.Karena alasan likuiditas ini pula, ia tidak memberikan target harga untuk saham LPPF. Pada penutupan perdagangan hari Kamis (4/4) harga LPPF ada di Rp 11.600 per saham.RALSRamayana Lestari juga tak luput dari perhatian investor asing. Kali ini yang disebut memiliki niat meminang RALS adalah Dairy Farm. Kabarnya, pengendali tidak langsung 80,75% saham PT Hero Supermarket Tbk (HERO) itu berminat mengakuisisi 30% saham RALS. Nilainya mencapai US$ 780 juta atau setara Rp 1.660 per saham.Kabar itu memang masih tak jelas kebenarannya, tapi tak aneh jika RALS menjadi pusat perhatian. Pasalnya, emiten yang 55,88% sahamnya dimiliki oleh PT Ramayana Makmur Sentosa ini punya fundamental yang ciamik.Saat ini Ramayana Lestari memiliki 111 gerai, yang tersebar di Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dengan penetrasi sebesar ini, Alvian memandang RALS punya daya saing kuat di kelas menengah ke bawah. Apalagi, mereka sudah 35 tahun menggeluti bisnis ini.Lebih lagi tahun ini, Ramayana Lestari masih akan berekspansi untuk menggemukkan kantong perusahaan. Salah satunya adalah membuka enam gerai baru hingga Agustus 2013. Keenam gerai baru ini dibangun dengan investasi masing-masing sekitar Rp 10 miliar dengan lokasi tersebar di Cililitan, Cibinong, Tasikmalaya, Pekalongan, Bogor, dan Ambon.Pembukaan jaringan baru, kata Setyadi Surya, Direktur RALS, diharapkan bisa rampung sebelum lebaran tahun 2013 ini. Jadi, penambahan gerai ini bisa menopang performa perusahaan sampai akhir 2013. Maklum, menjelang Lebaran adalah puncak orang berbelanja fesyen – andalan RALS.Gerai baru tadi diharapkan bisa berkontribusi terhadap 3,5% penjualan, atau setara dengan Rp 266 miliar. “Kami menargetkan dapat meraup penjualan hingga Rp 8,51 triliun atau naik 14,27% dibandingkan tahun sebelumnya,” pungkas Setyadi.Target itu, sambung Setyadi, sudah termasuk hitung-hitungan jika kenaikan UMR yang akan membebani beban gaji hingga 20%, serta kemungkinan kenaikan tarif listrik.Sementara David memperkirakan pendapatan dan laba bersih RALS tahun ini bisa tumbuh masing-masing 20% dan 25%. Sebagai catatan, pendapatan dan laba bersih RALS tahun 2012 mencapai Rp 5,7 triliun dan Rp 446 miliar.Selain bersumber dari penambahan gerai, pertumbuhan kinerja RALS tahun ini juga ditopang oleh same store growth (SSG) yang ditargetkan bisa mencapai 13,2%.Faktor lainnya, kenaikan upah pekerja yang rata-rata diperkirakan mencapai 22%. RALS menjadi salah satu emiten yang diuntungkan dengan kenaikan upah minimum pekerja. Maklum saja, emiten ini memang mengkhususkan diri melayani konsumen dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Logikanya, tambahan penghasilan membuat daya beli target pasar RALS kian meningkat.David merekomendasikan beli saham RALS dengan target harga Rp 1.800 per saham. Sementara analis saham Mandiri Sekuritas Adrian Joezer dalam risetnya juga memberikan rekomendasi beli dengan target harga di Rp 1.600 per saham.Pada Kamis (4/4) harga saham RALS bertengger pada Rp 1.470 per saham.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 28  - XVII, 2013 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander