Investor Berlindung ke SBN di Tengah Kekhawatiran Resesi dan Arah Suku Bunga Acuan



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Banyak investor disinyalir masuk ke aset surat utang di tengah kekhawatiran resesi Amerika Serikat (AS). Instrumen Surat Berharga Negara (SBN) dianggap menjadi perlindungan di tengah masa ketidakpastian.

Penurunan yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) menjadi indikasi bahwa banyak orang membeli aset obligasi. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya.

Berdasarkan data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), per Senin (5/8), yield SUN tenor acuan 5 tahun (FR0101) menguat ke level 6,59% dan yield SUN tenor acuan 10 tahun (FR0100) ke level 6,77%.


Pada Selasa (6/8), yield SUN Benchmark 5-tahun (FR0101) mengalami kenaikan yang menandakan pelemahan sebesar 7 basis poin menjadi 6,67%, dan yield SUN Benchmark 10-tahun (FR0100) naik sebesar 3 basis poin menjadi 6,80%.

Baca Juga: Sinyal Resesi AS Muncul, Ini Dampaknya Bagi Ekonomi Indonesia

Minat investor terhadap aset obligasi juga dapat terlihat dari lelang Surat Utang Negara (SUN) yang digelar, Selasa (7/8). Penawaran masuk lelang SUN pekan ini sebesar Rp 66,99 triliun, terpantau naik dibandingkan penawaran lelang sebelumnya sebesar Rp 57,19 triliun.

Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Deni Ridwan mengatakan, appetite ataupun minat investor mulai terlihat risk-on di pasar keuangan seiring solidnya kondisi perekonomian domestik.

Optimisme itu antara lain dilandaskan ekonomi Indonesia kuartal kedua 2024 tumbuh sebesar 5,05% YoY, tingkat inflasi Juli 2024 pada level 2,13% YoY, serta afirmasi Sovereign Credit Rating Indonesia pada peringkat BBB dengan outlook stabil oleh lembaga rating S&P.

Dari pasar keuangan global, minat investor terhadap lelang kali ini dipengaruhi sentimen The Fed yang menahan suku bunga acuannya pada FOMC meeting pekan lalu. Keputusan tersebut sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar dengan semakin tingginya probabilitas penurunan Fed Fund Rate (FFR) di bulan September mendatang.

“Minat investor pada lelang SUN ini sangat baik tercermin dari naiknya total incoming bids (penawaran masuk) daripada lelang SUN sebelumnya,” kata Deni kepada Kontan.co.id, Selasa (6/8).

Deni menambahkan, minat investor asing pada lelang juga tetap kuat dengan total incoming bids sebesar Rp 10,7 triliun. Mayoritas dari penawaran asing tersebut berada pada SUN tenor 11 tahun sebesar Rp 6,42 triliun atau 60,03% dari total incoming bids investor asing, dan dimenangkan sebesar Rp 1,84 triliun atau 45,19% dari total awarded bids investor asing.

Jika dibandingkan pasar ekuitas, investor asing mencatatkan transaksi jual bersih (net sell) saham senilai Rp 508 miliar di seluruh pasar pada Senin (5/8).  Investor asing juga terpantau masih melanjutkan net sell sebesar Rp 114,79 miliar di seluruh pasar pada Selasa (6/8).

Baca Juga: SBN Jadi Primadona di Tengah Potensi Resesi AS

Adapun berdasarkan data setelmen s.d. 1 Agustus 2024 pada semester-II 2024, nonresiden atau asing tercatat beli neto di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebesar Rp42,97 triliun dan beli neto di pasar SBN sebesar Rp5,92 triliun, serta jual neto di saham sebesar Rp2,54 triliun.

Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen s.d. 1 Agustus 2024, nonresiden tercatat jual neto Rp28,04 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,20 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp173,32 triliun di SRBI.

Chief Dealer Fixed Income & Derivatives PT Bank Negara Indonesia (BNI) Fudji Rahardjo melihat, SBN menjadi salah satu alternatif pilihan bagi investor karena yield masih relatif tinggi jika dibandingkan aset lainnya. Yield cenderung melemah karena harga yang terus meningkat, sehingga tanda SBN tetap jadi pilihan investor.

“Meningkatnya permintaan terhadap SBN ini salah satunya merupakan implikasi semakin kencangnya sentimen dovish dari the Fed,” kata Fudji kepada Kontan.co.id, Selasa (6/8).

Seperti diketahui, the Fed mempertahankan suku bunganya di level 5,25%-5,5% pada pertemuan Rabu (31/7). Namun, bank sentral AS itu memberikan sinyal kuat untuk memangkas suku bunga pada pertemuan September mendatang.

Fudji menambahkan, rilis data tenaga Amerika pekan lalu yang berada di bawah ekspektasi turut menambah potensi risiko resesi AS, jika tidak segera dilakukan penyesuaian kebijakan oleh bank sentral. Hal itu menyusul laporan Non Farm Payroll (NFP) AS turun menjadi 114.000 pada Juli, sementara tingkat pengangguran AS naik menjadi 4,3% pada Juli 2024.

“Alhasil, aset negara berkembang dengan yield tinggi menjadi pilihan alternatif bagi investor yang ragu terhadap fenomena pemangkasan Fed Fund Rate,” sambungnya.

Editor: Anna Suci Perwitasari