Investor harus waspadai kesehatan bank Eropa



Di balik krisis perekonomian yang terus melanda Eropa, muncul sebuah pertanyaan penting untuk para investor. Seberapa besar utang negara akan mempengaruhi kinerja bank-bank yang penting dalam sistem perekonomian negara?

Para investor tentunya harus memperhatikan masalah reklasifikasi aset finansial. Ini karena semua perusahaan di industri perbankan mempergunakan sistem akuntansi yang mengharuskan mereka melakukan reklasifikasi aset untuk menghindari kerugian yang tidak perlu dan meminimalisasi volatilitas pendapatan bersih dan neracanya.

Dalam standard akuntansi yang mengacu pada ketentuan International Financial Reporting Standards (IFRS) ada 4 kategori pengukuran instrumen finansial:

  • Financial Assets at Fair Value through profit or loss (FVTPL): aset finansial dinilai dengan harga wajar
  • Available For Sale (AFS): aset dinilai berdasarkan harga wajar dan keuntungan atau  kerugian yang tidak direalisasikan akan dimasukkan dalam other comprehensive income (OCI)
  • Loans and Receivable (L&R): aset dinilai berdasarkan biaya pembelian yang sudah diamortisasi
  • Held to maturity (HTM): aset dinilai berdasarkan biaya pembelian yang sudah diamortisasi

Waktu terjadi krisis ekonomi di tahun 2008, para pembuat standard akuntansi di Internasional Accounting Standard Board (IASB) membuat amendemen untuk ketentuan IAS 39 (International Accounting Standard untuk instrumen finansial) dengan mengembangkan jenis aset-aset finansial yang bisa direklasifikasi.

Amendemen ini memungkinkan perusahaan melakukan reklasifikasi aset dalam kategori FVTPL, kecuali derivatif, dalam kejadian luar biasa dan waktu perusahaan akan memegang instrumen ini sampai jatuh tempo. Misalnya, instrumen finansial yang tidak likuid dalam kejadian luar biasa bisa mendapatkan reklasifikasi aset dengan harga wajar.

Di sisi lain amendemen ini juga membawa sejumlah pertanyaan untuk para investor:

  • Dalam reklasifikasi, bagaimana sebuah kejadian bisa dikategorikan sebagai luar biasa? Bagaimana seseorang bisa menentukan secara objektif kejadian luar biasa dan memakai definisi ini untuk beberapa periode laporan keuangan?
  • Apakah aturan reklasifikasi membuka pintu untuk bank menghindari pengakuan kerugian dalam laporan keuangannya? IASB memang mengharuskan laporan keuangan perusahaan mengungkapkan dampak reklasifikasi ini dalam laba rugi.
  • Apakah dasar dalam melakukan reklasifikasi itu adalah niatan perusahaan atau mereka memang berencana memegang aset sampai jatuh tempo?
Kepanikan krisis ekonomi memang sudah mulai mereda, tapi kebingungan-kebingungan yang muncul karena adanya masalah ini masih tetap ada. Kalau mau menilai dengan kondisi sekarang, faktor krisis (seringnya beberapa jenis aset menjadi tidak likuid) menjadi hal yang lumrah dalam perekonomian sekarang. Tentu saja hal ini membuat semakin sulit untuk menentukan, kapan kondisi luar biasa mulai terjadi.

Di tahun 2011, European Securities Market Authority (ESMA) mengungkapkan keprihatinannya dengan adanya inkonsistensi beberapa bank yang memegang surat utang Yunani. Mereka menafsirkan ketentuan akuntansi IFRS termasuk reklasifikasi aset dan aturan penurunan nilai (impairment) aset dengan berbeda-beda. Waktu itu beberapa bank di Eropa dengan nyata-nyata mengabaikan kerugian akibat harga obligasi Yunani yang terdiskon besar-besaran, karena kerugian itu belum direalisasikan.

Fleksibilitas untuk mengakui kerugian lewat reklasifikasi aset ini juga menjadi sorotan dalam publikasi internal JP Morgan. Dengan mempelajari 44 laporan keuangan bank di Eropa untuk tahun buku 2011, JP Morgan menemukan rata-rata bank harus melakukan penurunan 11% nilai asetnya kalau mereka tidak melakukan reklasifikasi dan mencatat asetnya dengan nilai wajar.

Dalam contoh analisisnya, ada beberapa bank seharusnya menurunkan nilai asetnya lebih besar dari rata-rata. Misalnya, Bank Alpha dari Yunani dan National Bank of Greece seharusnya menurunkan lagi nilai asetnya 62% dan 52%.

Tulisan ini juga mengilustrasikan penghindaran kerugian besar yang bisa muncul dalam satu periode pelaporan keuangan. Contohnya saja, selama tahun 2011 Commerzbank AG bank dari Jerman sudah melakukan penghindaran kerugian sebesar 17% dari modalnya.

 Beberapa bank besar juga terlibat masalah reklasifikasi:

  • Deutsche Bank dalam laporan Desember 2011, aset yang masuk kategori FVTPL direklasifikasi menjadi L&R senilai € 6,7 miliar. Reklasifikasi ini dianggap benar karena manajemen bank dianggap akan menyimpan aset sampai jatuh tempo, nyatanya di tahun 2012 ada aset senilai € 3 miliar yang dijual.
  • Lloyds Banking Group di tahun 2010 melakukan reklasifikasi surat utang pemerintah dengan nilai wajar £ 3,62 miliar dari available for sales (AFS) menjadi hold to maturity (HTM). Di tahun 2012 surat utang pemerintah direklasifikasi dari HTM ke AFS senilai £ 11,97 miliar. Disclosures manajemen tidak mengungkapkan dengan jelas apa saja faktor yang menjadi dasar pemindahan klasifikasi ini.
  • BNP Paribas di Juni 2011 melakukan reklasifikasi € 6,3 miliar surat utang pemerintah, termasuk surat utang Yunani dari AFS menjadi L&R dengan asumsi mereka menyimpan aset ini untuk mendapatkan cash flow. Tapi restrukturisasi yang dilakukan Pemerintah Yunani di Desember 2012, termasuk buyback surat utangnya memaksa BNP Paribas menjual sebagian surat utang yang sebenarnya sudah direklasifikasi dari AFS menjadi L&R.
Dampak kebingungan reklasifikasi ini masih terus berlanjut. Bagi para investor hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam melakukan analisis, karena laporan keuangan disajikan dengan beberapa perkecualian. Membuat perbandingan menjadi sangat menantang karena manajemen bank bisa memperlakukan aset yang sama dengan perlakuan akuntansi yang berbeda tergantung niatannya.

Investor harus  waspada dengan kemungkinan adanya penyesuaian yang cukup besar dari angka-angka yang ada dalam laporan keuangannya.

Editor: Djumyati P.