Jakarta. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Peribahasa yang berarti sifat orangtua biasa menurun kepada anak ini tepat menggambarkan karakter investor di Tanah Air. Rasa tenang menyimpan duit segepok dalam wujud kas dan memiliki properti yang merupakan ciri berinvestasi nenek moyang kita, ternyata masih lestari, lo. Setidaknya riset yang baru-baru ini dipublikasikan Manulife Financial menunjukkan hal itu.Survei yang menghasilkan Manulife Investor Sentiment Index (MISI) ini mengukur tingkat optimisme investor. Manulife melibatkan 3.500 responden yang dipilih secara random, berasal dari tujuh negara. Selain dari Indonesia, responden lain berasal dari Malaysia, Singapura, Jepang, China, Hong Kong, dan Taiwan. Untuk Indonesia, riset mengambil sampel di tiga kota besar: Jakarta, Medan, dan Surabaya.Riset yang berlangsung sejak 20 Desember 2012 hingga Januari 2013 ini menyimpulkan ini, tingkat optimisme investor Indonesia untuk berinvestasi berada pada angka indeks tertinggi, dengan total nilai indeks 54. Angka ini bahkan lebih tinggi ketimbang indeks responden dari Kanada dan Amerika Serikat yang terlibat pada survei serupa di waktu yang lain. Oh, iya, rentang nilai indeks antara minus 100 hingga 100.Meski berada di angka indeks tertinggi, ternyata investor Indonesia paling hati-hati alias konservatif. Karakter ini disimpulkan setelah ketahuan bahwa sebagian besar responden di Indonesia menempatkan dana pada instrumen investasi berisiko rendah. Masuk dalam golongan investasi jenis ini adalah uang tunai (termasuk tabungan dan deposito), pendapatan tetap (ORI dan SUKUK ritel), rumah yang dihuni, serta properti lain. Porsi investor Indonesia yang menempatkan dana di instrumen berisiko rendah ini rata-rata mencapai 73%.Direktur Pengembangan Bisnis PT Manulife Asset Manajemen Indonesia (MAMI) Putut Endro Andanawarih menjelaskan ada tiga alasan kas dan properti menjadi primadona. Pertama, jenis investasi tersebut “dekat” dengan masyarakat Indonesia yang masih menganggap memiliki aset mesti dalam bentuk properti. Kedua, pemahaman terhadap instrumen investasi lain belum dalam. Ketiga, karena ada persepsi di kalangan masyarakat bahwa investasi berupa saham atau reksadana membutuhkan dana dengan nilai di luar jangkauan kemampuan mereka.Sayang, dalam riset ini Manulife tidak memasukkan instrumen investasi berupa emas. Padahal masyarakat Indonesia cukup “dekat” dengan jenis investasi ini. Saking populernya emas, tak heran jika embel-embel emas sangat manjur menjerat para investor melalui skema investasi bodong berkedok emas yang belakangan marak.Perihal investasi di saham, Indonesia berada nomor dua dari bawah, setelah Taiwan. Alasan investor Indonesia tidak meminati investasi saham karena anggapan saat ini bahwa kondisi pasar tidak stabil dan keyakinan bahwa investasi lain dapat memberikan keuntungan lebih tinggi. “Ada kesenjangan antara optimisme terhadap tujuan keuangan dengan perilaku investasi,” ujar Chief Executive Officer dan Presiden Direktur Manulife Indonesia Chris Bendl. Edukasi belum merata Presiden Direktur PT Manulife Asset Manajemen Indonesia (MAMI) Legowo Kusumonegoro menambahkan, kekhawatiran atas fl uktuasi harga saham mestinya tidak perlu terjadi jika investor memiliki pemahaman cukup terhadap investasi pasar modal. Menurut dia, pilihan waktu berinvestasi (market timing) hanya menyumbang 2% terhadap return untuk investasi jangka panjang. Penyumbang terbesar return terbesar adalah alokasi aset, lalu disusul oleh pemilihan saham.Riset ini juga mengulas tentang tujuan pensiun. Ternyata sebanyak 45% dari 500 responden Indonesia memprioritaskan dana pensiun untuk biaya kesehatan, 39% untuk membiayai standar hidup di masa tua, dan 36% untuk mendukung pendidikan anak. Untuk pemenuhan dana pensiun, mayoritas responden mengandalkan tabungan (50%) investasi properti (17%), kontribusi anak atau cucu (13%), dana pensiun (9%), dan sumber-sumber lain (11%).Menilik hasil survei ini, secara umum Executive Vice President-Customer Management & Marketing BNI Purnomo B. Soetadi sependapat bahwa edukasi finansial investor Indonesia masih minim. Namun, berangkat dari pengalaman BNI mengelola nasabah, dalam dua tahun terakhir sebenarnya sudah ada pergeseran pilihan risiko, terutama di investor kelas menengah yang notabene jumlahnya sudah mayoritas.Sekadar informasi, BNI membagi nasabah dalam empat kategori, yakni emerald (penempatan dana di atas Rp 1 miliar), affluent (penempatan dana Rp 100 juta–Rp 1 miliar), upper mass (penempatan dana Rp 10 juta–Rp 100 juta), dan mass penempatan dana di bawah Rp 10 juta).Nah, dalam versi BNI, investor kelas menengah adalah upper mass dan affl uent. Jika dua tahun lalu kedua kategori ini rata-rata hanya menempatkan portofolio di produk nonbank (reksadana dan bancassurance) sebanyak 5%, kini sudah menjadi 12%.Direktur Sucorinvest PT Asset Management Christian Hermawan juga tak merasa heran pada temuan Manulife. “Faktor mengakses produk reksadana dan saham mestinya juga menjadi kendala sehingga minat investor ke instrumen ini masih rendah,” koreksi Christian. Gambaran fakta telah berbicara. Siapa mau berbenah dan menyingsingkan lengan? ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 28 - XVII, 2013 Laporan Utama
Investor Indonesia masih alergi resiko
Jakarta. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Peribahasa yang berarti sifat orangtua biasa menurun kepada anak ini tepat menggambarkan karakter investor di Tanah Air. Rasa tenang menyimpan duit segepok dalam wujud kas dan memiliki properti yang merupakan ciri berinvestasi nenek moyang kita, ternyata masih lestari, lo. Setidaknya riset yang baru-baru ini dipublikasikan Manulife Financial menunjukkan hal itu.Survei yang menghasilkan Manulife Investor Sentiment Index (MISI) ini mengukur tingkat optimisme investor. Manulife melibatkan 3.500 responden yang dipilih secara random, berasal dari tujuh negara. Selain dari Indonesia, responden lain berasal dari Malaysia, Singapura, Jepang, China, Hong Kong, dan Taiwan. Untuk Indonesia, riset mengambil sampel di tiga kota besar: Jakarta, Medan, dan Surabaya.Riset yang berlangsung sejak 20 Desember 2012 hingga Januari 2013 ini menyimpulkan ini, tingkat optimisme investor Indonesia untuk berinvestasi berada pada angka indeks tertinggi, dengan total nilai indeks 54. Angka ini bahkan lebih tinggi ketimbang indeks responden dari Kanada dan Amerika Serikat yang terlibat pada survei serupa di waktu yang lain. Oh, iya, rentang nilai indeks antara minus 100 hingga 100.Meski berada di angka indeks tertinggi, ternyata investor Indonesia paling hati-hati alias konservatif. Karakter ini disimpulkan setelah ketahuan bahwa sebagian besar responden di Indonesia menempatkan dana pada instrumen investasi berisiko rendah. Masuk dalam golongan investasi jenis ini adalah uang tunai (termasuk tabungan dan deposito), pendapatan tetap (ORI dan SUKUK ritel), rumah yang dihuni, serta properti lain. Porsi investor Indonesia yang menempatkan dana di instrumen berisiko rendah ini rata-rata mencapai 73%.Direktur Pengembangan Bisnis PT Manulife Asset Manajemen Indonesia (MAMI) Putut Endro Andanawarih menjelaskan ada tiga alasan kas dan properti menjadi primadona. Pertama, jenis investasi tersebut “dekat” dengan masyarakat Indonesia yang masih menganggap memiliki aset mesti dalam bentuk properti. Kedua, pemahaman terhadap instrumen investasi lain belum dalam. Ketiga, karena ada persepsi di kalangan masyarakat bahwa investasi berupa saham atau reksadana membutuhkan dana dengan nilai di luar jangkauan kemampuan mereka.Sayang, dalam riset ini Manulife tidak memasukkan instrumen investasi berupa emas. Padahal masyarakat Indonesia cukup “dekat” dengan jenis investasi ini. Saking populernya emas, tak heran jika embel-embel emas sangat manjur menjerat para investor melalui skema investasi bodong berkedok emas yang belakangan marak.Perihal investasi di saham, Indonesia berada nomor dua dari bawah, setelah Taiwan. Alasan investor Indonesia tidak meminati investasi saham karena anggapan saat ini bahwa kondisi pasar tidak stabil dan keyakinan bahwa investasi lain dapat memberikan keuntungan lebih tinggi. “Ada kesenjangan antara optimisme terhadap tujuan keuangan dengan perilaku investasi,” ujar Chief Executive Officer dan Presiden Direktur Manulife Indonesia Chris Bendl. Edukasi belum merata Presiden Direktur PT Manulife Asset Manajemen Indonesia (MAMI) Legowo Kusumonegoro menambahkan, kekhawatiran atas fl uktuasi harga saham mestinya tidak perlu terjadi jika investor memiliki pemahaman cukup terhadap investasi pasar modal. Menurut dia, pilihan waktu berinvestasi (market timing) hanya menyumbang 2% terhadap return untuk investasi jangka panjang. Penyumbang terbesar return terbesar adalah alokasi aset, lalu disusul oleh pemilihan saham.Riset ini juga mengulas tentang tujuan pensiun. Ternyata sebanyak 45% dari 500 responden Indonesia memprioritaskan dana pensiun untuk biaya kesehatan, 39% untuk membiayai standar hidup di masa tua, dan 36% untuk mendukung pendidikan anak. Untuk pemenuhan dana pensiun, mayoritas responden mengandalkan tabungan (50%) investasi properti (17%), kontribusi anak atau cucu (13%), dana pensiun (9%), dan sumber-sumber lain (11%).Menilik hasil survei ini, secara umum Executive Vice President-Customer Management & Marketing BNI Purnomo B. Soetadi sependapat bahwa edukasi finansial investor Indonesia masih minim. Namun, berangkat dari pengalaman BNI mengelola nasabah, dalam dua tahun terakhir sebenarnya sudah ada pergeseran pilihan risiko, terutama di investor kelas menengah yang notabene jumlahnya sudah mayoritas.Sekadar informasi, BNI membagi nasabah dalam empat kategori, yakni emerald (penempatan dana di atas Rp 1 miliar), affluent (penempatan dana Rp 100 juta–Rp 1 miliar), upper mass (penempatan dana Rp 10 juta–Rp 100 juta), dan mass penempatan dana di bawah Rp 10 juta).Nah, dalam versi BNI, investor kelas menengah adalah upper mass dan affl uent. Jika dua tahun lalu kedua kategori ini rata-rata hanya menempatkan portofolio di produk nonbank (reksadana dan bancassurance) sebanyak 5%, kini sudah menjadi 12%.Direktur Sucorinvest PT Asset Management Christian Hermawan juga tak merasa heran pada temuan Manulife. “Faktor mengakses produk reksadana dan saham mestinya juga menjadi kendala sehingga minat investor ke instrumen ini masih rendah,” koreksi Christian. Gambaran fakta telah berbicara. Siapa mau berbenah dan menyingsingkan lengan? ***Sumber : KONTAN MINGGUAN 28 - XVII, 2013 Laporan Utama