Investor lebih baik pilih saham di sektor yang recovery atau sektor hot?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Minggu-minggu ini banyak investor resah melihat imbal hasil US Treasury 10 tahun yang mendadak naik 0,4%. Kondisi yang tak terduga ini biasanya akan membuat asing melarikan dananya ke aset aman. 

Pasar saham dan obligasi di Indonesia pun ikut terkena getahnya.  Apa saja yang perlu diantisipasi dalam beberapa bulan mendatang. Apa saja aset dan saham yang bisa dipilih para investor? Berikut ini analisis dan tips dari Ni Made Muliartini CIO Principal Asset Management

Kenapa banyak orang begitu khawatir dengan kenaikan US Treasury yield?


Itu jarang-jarang ya. Jadi yang dari 1,1% tiba-tiba Februari akhir itu naik jadi 1,4%-1,5%.

Itu sih cukup extraordinary, cukup mengagetkan kita semua. Karena kan kita kan tahunya cukup lama steady di 1,1% malah sempat 0,9%-0,8% treasury yield ya. Dan pada saat kita masuk tahun 2021 sebenarnya kan yang sering orang-orang bicarakan kan tentang ancaman atau risiko inflasi. Tapi kita pikir datangnya nanti di semester kedua.

Kalau inflasi naik, mungkin impact-nya ke US treasury yield juga akan naik. Ternyata kita lihat di Februari sudah spike begitu cepatnya US treasury yield. Kalau kita lihat data-data Amerika yang keluar itu memang cukup baik ya beberapa makro variabel dan perekonomian Amerika. Jadi itu artinya, US Treasury naik karena data ekonomi yang mulai membaik. 

Dan itu kan sebenarnya yang kita harapkan terjadi di seluruh dunia. Jadi setelah orang-orang dapat vaksin, kita berharap recovery ekonomi lebih cepat. Terus ujung-ujungnya inflasi naik karena aktivitas ekonomi sudah mulai membaik gitu kan ya. 

Sebenarnya bagus in the way, melihatnya. Tapi karena ini mendadak kejadiannya dan benar-benar sangat cepat terjadinya, ya reaksinya seperti itu. Orang-orang kaget, terus yield-nya pergi ke 1,5%. Kita punya di Indonesia surat obligasi negara Indonesia juga naik. Waktu itu intraday-nya sempat 6,8% yieldnya surat utang yang 10 tahun.

Itu sih kalau kita lihat lagi beberapa beberapa data yang terakhir kita lihat kan, gelontoran stimulus yang begitu besar di perekonomian Amerika memang tidak mengherankan lagi membuat inflasi di negara tersebut naik juga. Yang terakhir yang kemarin saja kan yang stimulus 1,9T kan baru disetujui oleh senat. 

Nah kalau kita hitung 1,9 T itu kan sudah hampir 2% dari GDP-nya si Amerika. Nah terbayang enggak, dari 1,9 T itu mereka bisa kasih cash transfer kurang lebih US$ 1.400 ke penduduknya setiap bulan. Belum lagi ditambah US$ 600 yang sudah disetujui oleh parlemen mereka Desember lalu. Jadi ada US$ 2.000 transfer per bulan setiap penduduk ya.

Belum lagi bantuan lain seperti bantuan sewa rumah, bantuan sekolah, saya baca ada asuransi juga. Nah dari sini kita tidak bisa pungkiri, inflasi akan terjadi karena orang akan segera spending dengan uang tambahan yang mereka dapatkan. 

Itu kan sebetulnya supporting growth-nya Amerika juga sebetulnya. Untuk antisipasi kejadian itulah si US Treasury-nya yield-nya naik. Kenaikan US treasury ini akan turut mendorong imbal hasil obligasi di negara-negara lain termasuk Indonesia. 

Bagaimana pengaruhnya terhadap Indonesia?

Kalau saya lihat, kan kita masih masuk bulan ke-3 di 2021. Inflasi kalau saya lihat masih sangat mild, sangat rendah. Terus PMI (Purchasing Manager Index) juga yang terakhir juga turun dari 52 ke 50. Itu kan artinya aktivitas manufacturing kita belum balik ke normal. Kemudian data-data ritel, juga masih mengalami penurunan, walaupun itu masih data Januari mungkin. Belum data yang terakhir.

Jadi menurut saya, memang aktivitas ekonomi domestik masih belum balik normal. Sedangkan kalau lihat vaksinasi yang sudah rollout yang sedang berlangsung so far saya lihat cukup on track ya. Cukup sesuai dengan jadwal vaksin dari pemerintah yang apa pekerja kesehatan kan sudah dapat semua yang akhir Februari. Terus yang 60 tahun ke atas juga sudah mulai dilaksanakan. 

Jadi hopefully kalau itu sesuai jadwal, mungkin 2022 ya katanya, hampir sudah bisa dapat dari 180 juta penduduk. Apalagi kalau bisa ada percepatan ya di tengah jalan, mungkin bisa ada inisiatif. Bisa mempercepat lagi recovery. Jadi itu sih masih ada balancing 

Pasar saham sempat menyentuh 6.500 sebenarnya. Kalau saya lihat sangat volatile. Kita sempat di 6.500 di Bulan Januari, tapi minggu terakhir rontok lagi Jadi memang volatile. Jadi kami estimasikan pergerakannya di 6.500-6.800 untuk tahun 2021. Jadi artinya kayak ada kenaikan 10%-15% dari level 2020. 

Sedangkan yield obligasi, kita optimis masih bisa 5,75%-6,25% untuk 10 year government bond. Jadi sekarang yang posisi 6,6% sempat 6,7%-6,8% ya kemarin naik segitu, kita pikir sekarang good entry level point sih saya pikir. Karena kita pikir masih bisa balik 6,25% mestinya.

Apa saja aset atau saham yang bisa dibeli para investor di dalam kondisi sekarang?

Kalau kelas aset, saya masih suka saham dibandingkan bond ya. Walaupun sekarang yield-nya ada di 6,7-6,8. Ini untuk yang tidak punya obligasi, memang menarik masuk di posisi itu ya untuk obligasi negara yang 10 tahun. Sebenarnya good entry point. Tapi kan masih volatile banget.

Di saham juga sama volatile juga. Cuma kalau saya melihat, di saham kan temanya anything bisa memanfaatkan momen recovery ekonomi itu sebenarnya yang good sector yang bisa dipakai investasi. Jadi maksudnya waktu aktivitas orang kembali normal, saham-saham yang tadinya sangat dirugikan karena adanya penutupan aktivitas ekonomi, sekarang jadi ada harapan. Jadi saham-saham retailer itu mestinya bisa mulai bangkit lagi.

Kemudian perbankan, perbankan kan kemarin cukup suffer karena banyak pelaku ekonomi yang katakanlah tidak bisa bayar cicilan. Pokok dari pinjamannya juga mereka minta keringanan pembayaran. Sekarang harapannya para pelaku bisnis bisa mulai lagi aktif lagi, bisa mulai bayar lagi. Mestinya perbankan juga akan supportif pergerakannya. 

Terus sekarang yang lagi hot tentunya komoditi. Karena demand, demand seluruh dunia sekarang pelan-pelan mulai balik lagi ke aktivitas normal.

Tapi harga saham-saham Nikel sempat naik tinggi kan?

Iya apa pun itu yang EV (electronic vehicle) related, walau pun tidak serta merta terjadi tahun ini. Kalau saya lihat itu ada beberapa smelter yang baru bisa beroperasi nanti di 2023-2024. Artinya kan, benefitnya baru kita lihat di earning-nya tecermin nanti. 

Tapi kan sentimennya sudah bergulir dari sekarang. Nah itu yang menyebabkan pergerakan harga saham-saham-nya ahead of the earning. As long story-nya masih bagus, kalau pun ada penurunan, akumulasi saja sih bisa.

CPO kan kita lihat sudah naik juga harganya. CPO juga sudah naik, tapi memang kalau komoditi itu mainnya susah-susah gampang. Karena kita harus tahu juga siklusnya sebenarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.