KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar finansial Indonesia dan emerging market lain terus mengalami pelemahan. Gara-gara utamanya perang dagang antara China dan Amerika yang semakin memanas. Dalam kondisi seperti itu, di mana investasi yang sebaiknya dipilih para investor? Berikut ini analisis dari Katarina Setiawan Chief Economist and Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia kepada KONTAN.
Bagaimana Anda melihat perkembangan pasar yang selalu bergejolak akhir-akhir ini? Sebenarnya ada beberapa hal yang menyebabkan pasar bergejolak. Dari eksternal ada konflik dagang, terus menguatnya US dolar dan juga ada krisis dari negara-negara
emerging market. Dari dalam negeri itu ada melebarnya
current account deficit. Itu semua menimbulkan sentimen negatif.
Nah khusus mengenai perang dagang, kita melihat bahwa ini memang menimbulkan ketidakpastian yang tinggi. Tapi kita melihat trade war ini bukan pertama kali terjadi. Berulang-ulang kali terjadi di masa lalu, biasanya kedua pihak yang bertikai itu awalnya akan adu gertak dulu adu keras. Kemudian dilanjutkan dengan negosiasi-negosiasi tercapai kesepakatan. Kita melihat ini sudah terjadi antara US dengan mitra dagangnya seperti di Eropa, di Kanada di Meksiko. Yang belum di Tiongkok. Kita mengharapkan akan ada kebijakan trade policy dari Amerika yang lebih jelas menjelang
mid term election di November. Memang sekarang ini Demokrat dan Republik sedang adu siasat untuk memenangkan
mid term election. Dan ini memerlukan kebijakan yang jelas dari pemerintahnya. Jadi kelihatannya berbagai langkah yang diambil oleh pemerintah Amerika saat ini itu akan ada arahan yang lebih jelas sebelum
mid term election. Nah, kebijakan yang lebih jelas itu akan membuat investor lebih mudah untuk mengambil keputusan investasi. Kebijakan yang lebih jelas ini bukan berarti kebijakan yang lebih
friendly, bisa jadi kebijakannya
hostile. Tapi paling tidak menjadi lebih jelas. Kalau sekarang kan ketidakpastian ini memicu sentimen negatif. Jadi investor itu jadi berandai-andai, wah nanti ada apa lagi ada apa lagi. Sehingga mereka tidak bisa mengambil keputusan dengan kepala dingin dengan rasional. Tapi kalau sudah jelas arahannya mereka akan memilah. Kita kalau begini akan masuk di negara apa saja, sektor apa saja, dan sebagainya.
Seberapa besar pengaruh perang dagang itu sebenarnya? Sebetulnya kalau kita lihat secara nominal atau pun persentase terhadap PDB global juga terhadap perdagangan global, sampai sejauh ini perdagangan Amerika yang ada dengan tarif impornya, itu sebetulnya dampaknya masih sangat terkendali. Jadi kalau dampaknya sekitar, katakanlah sekitar US$ 175 miliar, itu hanya sekitar 0.09% dari global GDP atau sekitar 0.1% dari GDP Amerika. Jadi itu sebetulnya dampaknya masih terbatas. Kalau dieskalasi dengan China, itu kita perhitungkan ya sekitar dampaknya tidak sampai 0,2 dari global GDP. Tapi ketidakpastian ini faktor sentimen yang mendominasi bukan fundamentalnya. Investor tidak melihat dulu jadi mengabaikan fundamental yang ada. Mereka lebih merasa wah ini gimana, jangan-jangan nanti ada apa lagi, ada apa lagi. Jadi mereka ya sudah akan menjauhi semua emerging market. Jauhi semua investasi yang tidak berbasis US dolar misalnya. Itu yang mereka lakukan. Nah sebetulnya kalau kita lihat dampaknya sendiri sih, baik secara nominal maupun secara rasio tuh masih terkendali.
Bagaimana di Indonesia? Nah pasar Indonesia ini sama juga. Bergejolak karena sentimen bukan karena fundamental. Apalagi setelah krisis di
emerging market, padahal kalau kita lihat Indonesia itu sama sekali berbeda dengan Turki, dengan Argentina. Rasio utang terhadap PDB kita itu kurang lebih setengah dari rasio utang mereka. Cadangan devisa kita jauh lebih besar dibandingkan cadangan devisa mereka. Kemudian ekposure ekspor kita ke Argentina dan Turki hanya kecil sekali dibandingkan dengan total ekspor Indonesia, hanya sekitar 0,6%. Jadi sebetulnya secara fundamental kalau investor mau melihat lebih jauh, itu dampaknya enggak besar dan Indonesia itu beda sama sekali. Hanya sentimen mendominasi, sehingga investor ini berpikir lebih baik kita jauhi dulu deh
emerging market. Sayangnya Indonesia berada di kategori yang sama di
emerging market ini. Jadi mereka bilang hindari dulu Indonesia, jangan-jangan ketularan efek
emerging market yang lain. Itu yang terjadi. Valuasi pasar modal kita ini sudah jauh lebih baik, dibandingkan dengan awal tahun atau pun tahun lalu. Jadi sekarang sudah 1 standard deviasi, di bawah rata-rata valuasi 5 tahun terakhir. Dan ini harusnya menarik kalau investor sudah mau lagi melihat fundamentalnya gitu. Dan katalis yang sangat penting untuk investor asing masuk adalah kalau nilai tukar rupiah stabil. Stabil ya, enggak peduli itu misalnya nilai tukarnya di 15.000. Tapi stabil, mereka lebih suka daripada nanti di 13 ribu naik ke 15 ribu naik ke 16 ribu, balik lagi ke 13 ribu, itu mereka gak suka. Kalau stabil sebulan, 2 bulan, 3 bulan, itu mereka akan bilang wah sepertinya sudah stabil, coba kita lihat fundamentalnya lagi mereka baru mau masuk. Jadi kita lihat valuasi sih sudah sangat menarik katalis yang sedang ditunggu-tunggu oleh investor asing adalah nilai tukar rupiah, dan itu bisa tercapai antara lain kalau
current account deficit itu mengecil. Dan ini sedang dilakukan berbagai upaya oleh pemerintah, antara lain misalnya membatasi impor. Barang yang tidak perlu tidak perlu diimpor. Kemudian juga meningkatkan rasio pemakaian
mixed untuk bio diesel itu menjadi B20 berbagai upaya dilakukan supaya menjaga
current account deficit kita membaik, akibat tidak langsungnya juga diharapkan Rupiah membaik juga.
Di mana alokasi aset yang lebih menarik di saham atau obligasi? Dua-duanya sudah menarik, kenapa karena kita lihat misalnya obligasi. Dari 10 year obligsi kita yang
government bond itu
yield-nya sekarang di atas 8%. Kita memperkirakan akhir tahun bisa sekitar 7,75%. Untuk saham demikian juga, sekarang 5.800 sekian akhir tahun diperkirakan potensinya bisa mencapai 6.200. Jadi masih cukup menarik ada
upsized potential untuk keduanya, namun memang sekarang ini yang ditunggu adalah membaiknya nilai tukar rupiah, sentimen membaik, yaitu sentimen membaik kalau misalnya krisis emerging market ini mereda. Artinya negara-negara yang ditimpa krisis minta bantuan, misalnya ke IMF itu akan memperbaiki sentimen, kemudian juga kalau ada kompromi kesepakatan di perang dagang. Kalau mengenai US dolar kita melihat tahun depan harusnya penguatan US dolar harusnya tidak segila tahun ini. Kenapa karena ada defisit yang melebar, defisit anggaran yang melebar di Amerika Serikat dipicu oleh program
tax cut-nya pemotongan pajak, dan di masa lalu kita melihat setiap kali ada pemotongan pajak dan defisit yang melebar harus didanai oleh utang setiap kali terjadi demikian US dolar itu melemah. Jadi kalau semuanya ini membaik seperti yang kita sebutkan tadi maka sentimen negatif juga akan mereda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.