Investor lokal mempertebal porsi kepemilikan efek



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi jual yang terjadi belakangan ini turut mengubah porsi kepemilikan efek di Indonesia. Dalam data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menyebutkan, porsi perbandingan kepemilikan investor asing dengan investor lokal berubah. Pemengang efek lokal juga terus bertambah.

Sampai dengan 9 Maret 2018, komposisi kepemilikan efek dalam mata uang rupiah oleh asing sebesar 44,45% atau setara dengan Rp 2.026,52 triliun. Sedangkan kepemilikan oleh lokal sebesar 55,55% atau senilai Rp 2.533,05 triliun.

Pada akhir Desember 2017 lalu, porsi asing masih 45,44% atau senilai Rp 2.004,56 triliun sementara lokal 54,56% atau senilai Rp 2.406,97 triliun. Dari rekaman waktu ke waktu tersebut (lihat tabel), setidaknya selama tiga pekan terakhir komposisi lokal terus membesar.

Periode Porsi asing Nilai ekuitas asing Porsi lokal Nilai ekuitas lokal
9 Maret 2018 44,45% Rp 1.986,89 triliun 55,55% Rp 1.975,63 triliun
2 Maret 44,78% Rp 2.023,26 triliun 55,22% Rp 1.987,27 triliun
23 Februari 44,98% Rp 2.045,78 triliun 55,02% Rp 2.000,88 triliun
29 Desember 2017 45,44% Rp 1.967,43 triliun 54,56% Rp 1.867,41 triliun
Sumber: OJK, KSEI        

Porsi asing nampak semakin susut dalam kepemilikan efek rupiah. Hanya saja, dalam instrumen khusus, seperti instrumen ekuitas, kepemilikan asing masih mendominasi. Sampai dengan 9 Maret 2018, asing mencatatkan kepemilikan ekuitas Rp 1.986,89 triliun. Sedangkan kepemilikan ekuitas oleh lokal sebesar Rp 1.975,63 triliun.

Merunut kebelakang, saat akhir 2017, kepemilikan asing pada instrumen ekuitas yakni Rp 1.967,43 triliun. Sedangkan kepemilikan oleh lokal sebesar Rp 1.867,41 triliun. Artinya, kedua investor maupun asing pada instrumen ekuitas tercatat bertumbuh. Namun, ternyata pertumbuhan investor asing lebih lambat dibandingkan dengan investor lokal. Dari data RTI, pada saham, investor asing sudah mencatatkan net sell sebesar Rp 16,85 triliun sejak awal tahun (year to date).

Muhammad Nafan Aji, Analis Binaartha Parama Sekuritas menyatakan biasanya investor asing memindahkan asetnya ke instrumen yang bersifat safe heaven. Antara lain seperti swiss franc, yen, bahkan ada juga yang mengalihkan aset pada instrumen obligasi. Menurutnya, koreksi yang terjadi pada indeks harga saham gabungan (IHSG) dan keluarnya asing bisa dimanfaatkan oleh investor lokal untuk melakukan akumulasi beli. “Secara umum, fundamental makroekonomi dalam negeri masih cenderung stabil,” kata Nafan kepada Kontan.co.id, Jumat (16/3).

Sedangkan, pada investor asing, Nafan menilai saat ini mereka sedang menunggu antisipasi pemerintah Indonesia terkait kenaikan Fed Fund Rate (FFR) pada 21 Maret nanti. Setelah itu, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia akan menentukan tingkat suku bunga acuan.

Keputusan kedua bank sentral ini bisa menjadi awal momentum yang positif bagi pergerakan indeks di tanah air. “Menurut saya akan dipertahankan, sebab inflasi masih cenderung stabil,” lanjut Nafan.

Dia menambahkan, pemain lokal berupa investor institusi maupun dana pensiun berpeluang dalam bisa menggerakkan pasar. Sedangkan investor individu atau ritel, cenderung memanfaatkan volatilitas untuk trading. Investor ritel dinilai belum terlalu kuat untuk menopang pergerakan harga saham.

Teuku Hendry Andrean, Research Manager Shinhan Sekuritas Indonesia menilai, investor lokal tidak mampu membalik arah IHSG di tengah-tengah investor asing yang melakukan net sell. Pasalnya saat ini, sentimen yang menerpa IHSG belum cukup kuat untuk mengerek indeks. “Kondisi rupiah masih dalam bayang-bayang tekanan,” ujar Hendry.

Lebih lanjut dia menyatakan, sentimen laporan keuangan 2017 juga sudah banyak yang keluar dan diketahui hasilnya. Selain itu, data ekonomi Indonesia juga masih impresif. Lembaga pemeringkat asing, Standar and Poors juga diprediksi tidak mengubah outlook dan rating Indonesia.

Sehingga pada saham unggulan, belum mampu terangkat. Ada tekanan pada tingkat global, yang akhirnya menimbulkan ketidakpastian. “Kondisi sekarang sebaiknya masih wait and see,“ ungkap Hendry.

Hal berbeda memang dirasakan pada tahun lalu. Meskipun asing juga banyak keluar pada tahun 2017 hampir mencapai Rp 40 triliun, Indonesia masih ditopang oleh beberapa sentimen positif. Sehingga pergerakan indeks juga masih menggairahkan. Teuku bilang, waktu itu juga belum ada tekanan nilai tukar dollar AS, sehingga indeks masih terjaga.

Meskipun masih dalam kondisi ketidakpastian, Tito Sulistio, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) masih optimistis bila investor asing yang keluar akan kembali lagi. Pasalnya, selain investor asing yang melakukan profit taking, ada pula investor asing lainnya yang menunggu pasar terkoreksi dan berusaha untuk masuk. “Mereka sudah membagi dana investasi pada suatu negara sekian dan sekian,” kata Tito di BEI, Kamis (15/3).

Tito melanjutkan, Indonesia masih bisa tetap menjadi tujuan investasi. Asalkan, perusahaan yang beroperasi memiliki fundamental yang bagus. Untuk itulah, dia masih optimistis melihat kinerja emiten saat ini. Di mana rata-rata, pertumbuhan pendapatan dan laba bersih mencapai lebih dari 20%.

Dari data BEI per 13 Februari 2018, sebanyak 70 emiten sudah melaporkan kinerja. Jumlah tersebut mewakili 48% kapitalisasi pasar modal dari 566 emiten tercatat. Revenue sementara emiten tersebut yakni Rp 1.528,43 triliun atau naik 24,87% year on year (yoy). Laba bersih sementara mencapai Rp 177,40 triliun atau naik 24,77% yoy.

Dia menyakini selama industri bagus, maka asing masih berpotensi masuk. Permintaan dan penawaran tersebut, menimbulkan keseimbangan dan diprediksi masih akan terjaga. Investor asing yang telah lama masuk, melakukan aksi jual di tengah-tengah dollar AS yang tinggi.

Begitu juga, masih ada investor asing yang melakukan aksi beli. “Investor lokal juga terus nambah, walau secara jumlah belum tinggi,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati