Investor tunggu kebijakan pajak Trump, Asia merah



SINGAPURA. Mayoritas saham yang diperdagangkan di bursa Asia mencatatkan penurunan pada transaksi perdagangan Senin (20/2). Data yang dihimpun CNBC menunjukkan, pada pukul 08.20 waktu Singapura, indeks Nikkei 225 Stock Average turun 0,57%. Kondisi ini terjadi seiring penguatan yen terhadap dollar AS. Pagi ini, nilai tukar yen berada di level 112,94, di bawah level 114,4 pada pekan lalu.

Posisi yen yang menguat membuat saham-saham berbasis ekspor tertekan di Jepang. Pasalnya, hal itu akan berdampak pada margin laba luar negeri mereka saat mata uang dikonversikan ke dalam mata uang lokal.

Sebelumnya, Jepang merilis data kenaikan ekspor sebesar 1,3% pada Januari dibanding tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya perlambatan dari bulan sebelumnya akibat penurunan ekspor Amerika dan libur Tahun Baru China.


Sedangkan neraca perdagangan mencatatkan defisit 1,09 triliun yen (US$ 9,66 miliar), versus nilai tengah analis defisit 636,8 miliar yen.

Sejumlah saham eksportir yang pagi ini tertekan antara lain: Sony turun 0,73%, Honda turun 0,36%, dan Canon turun 0,7%.

Di Korea Selatan, indeks Kospi juga tertekan 0,09%.

Sedangkan indeks ASX 200 Australia turun 0,33%. Sektor industri tertekan paling dalam yakni 1,7%. Sedangkan sektor finansial bergerak flat.

Saham WorleyParsons melorot 11,26% setelah perusahaan membukukan kerugian bersih paruh pertama tahun fiskal senilai 2,4 juta dollar Australia. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama tahun sebelumnya, perusahaan membukan keuntungan mencapai A$ 23,1 juta.

"Presiden AS Donald Trump berjanji mengumumkan kebijakan pajak fenomenal dalam dua hingga tiga pekan ke depan. Sehingga, seiring berjalannya waktu menjelang pengumuman, market mulai menahan diri," jelas Ray Attrill, global co-head of foreign exchange strategy National Australia Bank.

Dia menambahkan, kondisi ini sudah terlihat di market sejak transaksi Jumat lalu. Selain itu, tidak ada data yang dirilis sehingga bisa mempengaruhi pergerakan market.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie