KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Susunan organisasi Indonesian Petroleum Association (IPA) untuk 2018 berubah setelah terpilihnya Direktur Medco Energi International Tbk, Ronald Gunawan sebagai Presiden IPA yang baru dalam Rapat Umum yang dihelat pada Rabu (6/12) di Jakarta. Setelah terpilih, Ronald dan jajaran dewan direksi IPA akan fokus dalam menyelesaikan enam masalah yang jadi tantangan perusahaan-perusahaan hulu migas di Indonesia. "Kami kan ada enam fokus yang akan kami kerjakan, yaitu
gross split,
permitting,
oil and gas law,
gas price, EOR dan PI," kata Ronald pada Rabu (6/12). Dari keenam masalah tersebut, ada dua hal yang jadi sorotan utama IPA, yaitu terkait
Participating Interest (PI) daerah sebesar 10% dan
Enhanced Oil Recovery (EOR).
Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong bilang, IPA berharap, pemerintah memberikan aturan dalam penggunaan teknologi EOR. Pasalnya proyek EOR bukanlah proyek yang mudah dilakukan baik dari segi teknis maupun ekonomi. Hasil penggunaan EOR baru bisa dirasakan dalam waktu yang cukup lama. Dalam aturan baru soal EOR, IPA tidak meminta insentif karena insentif yang diberikan pemerintah sudah cukup dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27/2017 dan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 52/2017. Namun menurut Marjolijn, yang diminta IPA justru kejelasan perpanjangan kontrak bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang menggunakan EOR. Apalagi, kebanyakan EOR digunakan di lapangan-lapangan yang sudah
mature atau tua. "Mengenai perpanjangan ini, kami masih mempertanyakan. Jadi gini, kalau ada proyek EOR, itu biasanya bukan di awal dari satu Wk baru, biasanya dilakukan di tengah-tengah atau
mature. Jadi enggak cukup waktu, kalau tinggal berproduksi lima tahun lagi, enggak mungkinlah. Jadi butuh perpanjangan,"terang Marjolijn. KKKS juga hanya bisa dapatkan keekonomian dalam masa kontrak. Jika penggunaan EOR baru dilakukan pada masa akhir kontrak, maka lapangan yang dikelola tidak cukup ekonomis. "Jadi mereka mau melakukan EOR kalau keekonomian masuk. Keekonomian itu kan hitungnya hanya pada masa kontrak kan. Jadi kalau kontrak lima tahun, ya lima tahun, pasti tidak oke. Jadi harus ada perpanjangan, itu butuh aturan khusus, itu yang kami tanya," jelas Marjolijn. Sementara itu terkait masalah PI, Marjolijn menyebut, KKKS membutuhkan kejelasan dalam mengimplementasikan aturan mengenai PI 10% bagi daerah. Apalagi, KKKS diwajibkan untuk menanggung lebih dulu biaya yang seharusnya dikeluarkan oleh BUMD untuk mengelola suatu lapangan migas. "Pertama, implentasinya yang tidak memberatkan kami. Kalau dulu jelas,
business to business, terserah. Sekarang, ada keharusan untuk membayar dulu, menanggung dulu, ini yang kami pertanyakan terutama untuk yang pakai
gross split karena sudah tidak ada sistem
cost recovery, sehingga menjadi lebih berat lagi," ujarnya. Makanya Marjolijn bilang jika sudah ada kepastian mekanisme terkait PI 10%, IPA berharap mekanisme tersebut bisa dilakukan melalui skema
business to business.
"Boleh enggak
business to business. Kami senang sih berpartner dengan BUMD, umumnya pada senang loh perusahaan-perusahaan. Cuma bagaimana caranya pelaksanaannya itu tidak memberatkan, tetap
business to business,"jelasnya. Selain itu, Marjolijn berharap pemerintah juga memberikan kepastian terkait skema pembayaran yang harus dilakukan KKKS demi menanggung BUMD dalam pengelolaan lapangan migas. "Mungkin tetap skema itu harus menanggung, tapi berapa pengembaliannya tiap tahun, itu kan belum ada kejelasannya.Apakah tiap tahun 100% keuntungan harus untuk bayar itu atau bagaimana? Itu dulu loh. Jadi aturan itu dibuat sangat high level, detail implementasinya ini kan yang akan menentukan berat atau tidak. Nah itu belum ada, dan kami mengharapkan adanya diskusi," kata Marjolijn. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia