KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak awal tahun hingga Oktober ini, terdapat empat emiten baru yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan nilai emisi di atas Rp 1 triliun. Menilik data RTI, sejak menggelar
initial public offering (IPO), hanya dua saham yang menguat hingga Kamis (28/10). Dua saham justru turun. Dua saham yang mencatatkan kenaikan harga yakni PT FAP Agri Tbk (
FAPA) yang naik 68,48% dan PT Cemindo Gemilang Tbk (
CMNT) yang naik 2,60%. Sementara, dua emiten lainnya yaitu PT Bukalapak.com Tbk (
BUKA) mencatatkan penurunan harga saham 18,24% dan PT Archi Indonesia Tbk (
ARCI) yang turun 14,08% dari harga IPO.
Baca Juga: Ditopang divisi otomotif, pendapatan Astra International (ASII) naik 28% yoy Analis Panin Sekuritas William Hartanto menilai, penurunan harga saham setelah melantai di BEI adalah hal yang wajar. "Terkadang ada saham yang langsung mengalami
profit taking setelah
listing, itu hal yang wajar," ujar William kepada Kontan.co.id, Kamis (28/10). Secara keseluruhan, pergerakan saham FAPA, ARCI dan BUKA cukup bervariatif. Hanya CMNT yang konsisten mencatatkan kenaikan harga sejak IPO. Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menambahkan hal itu juga akibat mekanisme pasar. Apalagi saat ini 60% investor di BEI didominasi investor ritel. "Ini menjadi salah satu gambaran bahwa volatilitas semakin tinggi karena semakin banyaknya transaksi yang dilakukan," ujar Nico.
Baca Juga: Widodo Makmur Perkasa bidik pertumbuhan pendapatan 300% pada 2021 Nico juga menampik penurunan harga saham yang dialami emiten sejak IPO akibat harga yang kemahalan. Sebab, berkaca dari IPO BUKA yang masih mencatatkan kerugian saat
listing, perusahaan ini mendapatkan dana sesuai target. Menurut dia, hal itu mencerminkan investor melihat potensi valuasi di masa yang akan datang. Terkait prospek, Nico mencontohkan CMNT yang memiliki prospek yang cukup baik. Hal itu tak lepas dari pertumbuhan konsumsi semen di Indonesia yang terus bertumbuh walaupun tidak secepat yang diharapkan. Di sisi lain, Cemindo telah berhasil membukukan laba bersih Rp 162,15 miliar setelah sebelumnya membukukan rugi bersih. Selain CMNT, BUKA pada semester pertama lalu mencatatkan kenaikan total transaksi. Dia menilai BUKA masih mampu melakukan penetrasi terkait industri digital di Indonesia sehingga pihaknya melihat peluang positif di masa yang mendatang kendati saat ini harga sahamnya masih berada di bawah harga IPO.
Baca Juga: Widodo Makmur Perkasa incar dana Rp 1,83 triliun lewat IPO, ini rencana penggunaannya Sementara secara teknikal, William melihat saat ini hanya ARCI yang memiliki potensi menguat. "Menurut saya ini yang paling besar peluang untuk lanjut naik dengan target harga Rp 700-Rp 750 per saham," ujar dia. Sedangkan, untuk ketiga saham lainnya saat ini dia merekomendasikan
wait and see terlebih dahulu lantaran masih dalam fase penurunan. Karenanya, William menyarankan investor untuk menunggu pelemahan terbatas dan terindikasi
reversal baru melakukan beli. Sementara Nico merekomendasikan FAPA dengan target harga Rp 1.350 dan BUKA dengan target Rp 1.500 per saham.
Hingga tutup tahun, bursa efek masih akan kedatangan emiten baru dengan nilai emisi IPO di atas Rp 1 triliun, yakni PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel). Anak usaha PT Telkom Indonesia Tbk (
TLKM) ini akan melepas 25,54 miliar saham ke publik. Jumlah tersebut setara 29,85% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor Mitratel setelah IPO. Mitratel berpotensi meraup dana segar, minimal Rp 19,79 triliun dan maksimal capai Rp 24,9 triliun dari aksi korporasi ini. Nico melihat tanggapan pasar akan positif, sebab Mitratel merupakan perusahaan dengan jumlah menara terbesar. Artinya, cakupan untuk meningkatkan tenant paling besar. Selain itu, Mitratel juga merupakan anak usaha perusahaan pelat merah. "Kami melihat
fair price Mitratel di Rp 1.035 sehingga ada peluang untuk naik usai IPO," pungkas dia.
Baca Juga: Minat pasar besar, IPO bernilai jumbo diyakini masih akan terserap Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati