KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) saham PGEO dari PT Pertamina Geothermal Energy Tbk pada Jumat 24 Februari 2023 berlangsung lancar. Setelah IPO saham PGEO, manajemen PT Pertamina Geothermal Energy Tbk sudah menyiapkan rencana pembayaran dividen. Dividen adalah salah satu faktor yang dinanti-nanti para pemegang saham perusahaan terbuka. Setiap perusahaan yang sudah berstatus perusahaan terbuka memiliki kebijakan pembagian dividen masing-masing, termasuk PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (
PGEO). Lantas, bagaimana mekanisme dan rencana pembagian dividen PGEO setelah melakukan
initial public offering (IPO)?
Dalam prospektus, PGEO berencana untuk mengusulkan pembagian dividen tunai kepada seluruh pemegang saham berdasarkan rasio pembayaran dividen maksimal 50% dari laba bersih setelah menyisihkan cukup cadangan, dengan tidak mengurangi hak Rapat Umum Pemegang Saham untuk menentukan lain sesuai dengan Anggaran Dasar.
Baca Juga: Bisnis Panas Bumi Penuh Risiko, Begini Prospek Saham Pertamina Geothermal (PGEO) Penetapan, jumlah dan pembayaran dividen tunai di masa mendatang akan bergantung pada berbagai faktor, termasuk, namun tidak terbatas pada beberapa faktor. Pertama, laba ditahan, kinerja operasi, arus kas, prospek usaha dan kondisi keuangan PGEO di masa depan. Kedua, faktor-faktor lain yang dianggap relevan oleh para pemegang saham. Kebijakan dividen ini akan berlaku sehubungan dengan laba bersih PGEO setelah pajak untuk tahun buku yang berakhir pada tahun 2023 dan seterusnya. Dividen akan dibayarkan dalam denominasi Rupiah. Setelah penawaran umum perdana saham, PGEO tidak akan dibatasi oleh perjanjian pinjaman mana pun yang ada sehubungan dengan pembagian dividen. Adapun keputusan mengenai pembagian dividen diambil dengan keputusan pemegang saham dalam RUPS tahunan atau atas usul Direksi. Dalam hal ini,PGEO dapat mengumumkan dividen setiap tahun jika PGEO memiliki saldo laba yang positif.
Baca Juga: IPO Pertamina Geothermal (PGEO) Oversubscribe 3,81 Kali PGEO berencana untuk mengadakan rapat tahunan atau rapat umum pemegang saham selambat lambatnya enam bulan setelah setiap akhir tahun buku. Sebagai gambaran, untuk tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019 dan 31 Desember 2020, tidak terdapat pembagian dividen kepada pemegang saham PGEO. Sedangkan untuk tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2021, pemegang saham PGEO telah memutuskan pembayaran dividen sebesar US$ 30 juta berdasarkan Keputusan pemegang saham secara sirkuler tanggal 29 maret 2022 di mana pembayaran atas dividen kas tersebut telah dibayarkan seluruhnya pada tanggal 17 Mei 2022. Harga saham PGEO melorot Sementara itu, setelah IPO saham
PGEO pada perdagangan hari pertama melorot. Pada pembukaan sesi pertama, saham PGEO sempat melonjak ke level Rp 925 per saham dari harga IPO Rp875 per unit saham. Tak lama kemudian, saham emiten anak usaha PT Pertamina (Persero) itu anjlok 6,8% hingga menyentuh level auto reject bawah (ARB) ke level Rp 815 per saham. Sebelum penutupan perdagangan, secara ajaib saham PGEO rebound dan ditutup pada level harga IPO di level harga Rp 875 per saham. Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov mengatakan harga saham PGEO pada hari perdana perdagangannya memperlihatkan kondisi yang paradoks menyusul moncernya kinerja fundamental perseroan dianggap cukup impresif dengan pencapaian laba bersih US$ 11,4 juta per September 2022 serta pertumbuhan pendapatan 5%-10% setiap tahun. Namun demikian, di balik fluktuasi harga saham PGEO yang dianggap sebagian pihak adalah mekanisme pasar biasa. Di sisi lain dapat dibaca sebagai bentuk masih besarnya perasaan unconfident investor publik terhadap prospek pengembangan geothermal di tanah air. “Ketidakyakinan investor PGEO tersebut sebetulnya cukup wajar mengingat memang masih tebalnya risiko dan ketidakpastian dalam pengembangan geothermal. Terlebih lagi dengan rencana penggunaan 85% dana hasil IPO PGEO untuk belanja modal atau capex terkait investasi pengembangan kapasitas tambahan dari WKP eksisting,” katanya. Persoalannya, menurut dia, meskipun PGEO mampu melakukan penambahan kapasitas terpasang dari PLTP, apakah pasokan tambahan itu secara otomatis dapat diserap oleh end user dalam hal ini adalah PLN sebagai single buyer. Dalam kondisi pasokan listrik yang berlebihan saat ini saja, PLN sudah memberlakukan skema merit order yang berarti bahwa PLN secara alamiah akan memprioritaskan pembelian listrik dari sumber yang lebih murah. “Sebab, penyerapan listrik dari sumber yang lebih mahal akan berimplikasi terhadap kenaikan operasional PLN atau BPP sehingga pada gilirannya akan berimbas terhadap tambahan subsidi dan kompensasi listrik.”
Baca Juga: Debut Perdana Pertamina Geothermal (PGEO) Lesu, Bagaimana Nasib IPO BUMN ke Depan? Untuk itu, pengembangan geothermal dan sumber EBT lainnya tidak akan pernah bisa dipisahkan dari aspek keekonomian, beban fiskal, dan demand listrik nasional. “Sebetulnya belum ada urgensi bagi PGEO untuk melakukan IPO saham karena pemenuhan dana dari pasar modal bukanlah satu-satunya sumber dana yang tersedia bagi pengembangan operasional usaha,” terangnya. Hal senada diungkap Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menyatakan bahwa ada sentimen berlebihan dari publik terhadap IPO PGE yang ditandai dengan kelebihan permintaan (oversubscribe) pada masa penawaran. Di sisi lain, geothermal adalah salah satu bisnis di sektor energi yang memiliki tingkat pengembalian investasi rendah dengan risiko yang sangat tinggi. Bahkan kemungkinan gagal bisa mencapai 60%-75%. “Maka investasi di pengembangan geothermal adalah high risk investment,” ujarnya dalam keterangannya. Menurutnya, proses bisnis geothermal memakan waktu yang cukup lama. Bagaimana tidak, mulai dari survei awal, penyiapan lahan, perizinan, eksplorasi hingga pengembangan pembangkit listrik bisa membutuhkan waktu 7 tahun hingga 9 tahun lamanya. Belum lagi risiko tinggi yang mengikuti proses bisnisnya. Selain sisi risiko tinggi dan return minim, investasi panas bumi juga membutuhkan modal jumbo. Mulai dari penentuan titik lokasi yang berpotensi, lalu infrastruktur pengembangannya, bahkan eksplorasinya sendiri bisa mencapai 40%-60% dana operasional.
Baca Juga: IPO Pertamina Geothermal (PGEO) Oversubscribed 3,81 Kali Tak ayal jika secara jangka panjang, pengumpulan dana publik perseroan sebagaian besarnya akan digunakan untuk belanja modal (capital expenditure/capex) di berbagai wilayah kerja panas bumi (WKP) di Indonesia. “Risiko kegagalannya pun cukup tinggi, baik dari sisi teknis maupun non teknisnya, seperti ancaman kerusakan lingkungan, resettlement, atau bahkan harus mengorbankan situs-situs di lokasi eksplorasi dan permasalahan sosial lainnya,” kata dia. Teguh menilai kesalahan strategis yang dilakukan perseroan adalah mementingkan pendanaan jangka pendek dalam kondisi yang belum siap. Padahal sejatinya model investasi geothermal harus jangka panjang dan membutuhkan strategic partner dalam pengembangan awal, bukan dengan IPO.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto