Iress: kontrak Koba Tin harus batal demi hukum



JAKARTA. Indonesia Resources Studies (Iress) mendesak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik membatalkan kebijakannya memperpanjang operasi penambangan selama tiga bulan terhitung sejak 1 April 2013 kepada PT Koba Tin di Provinsi Bangka Belitung.

Iress  menilai, kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan bidang mineral dan batubara. Demikian desakan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Iress Marwan Batubara dalam siaran pernya yang diterima KONTAN, Jumat (14/6).

Menurut Marwan, kebijakan Menteri ESDM  No.2373/34/MEM.B/2013 tertanggal 28 Maret 2013 melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang (UU) No.4/2009 dan dapat dikenakan delik pidana karena membiarkan operasi pertambangan minerba tanpa perizinan yang dibenarkan secara peraturan perundangan. 


“Iress dengan ini menuntut agar pemerintah segara memutuskan kegiatan operasi Koba Tin di Provinsi Bangka Belitung ,” ujar Marwan.

Menurut Marwan, dengan ditetapkannya UU  Minerba No.4/2009 dan peraturan operasionalnya, pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batubara hanya dapat dilakukan berupa perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusaha Batubara(PKP2B) dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) khusus. Disamping itu dalam rezim UU Minerba tidak dikenal adanya ketentuan tentang pemberian izin sementara. 

Jadi, secara hukum perpanjangan KK Koba Tin melalui surat Menteri di atas harus batal demi hukum. Dengan demikian, Surat Keputusan (SK) Pembentukan Tim Independen Evaluasi Kontrak Karya (KK) Koba Tin pun menjadi tidak sah secara hukum.

Kebijakan Jero, lanjut Marwan, yang memberi kesempatan melakukan operasi tambang selama tiga bulan dan mengijinkan beroperasinya kegiatan tambang seperti biasa, mengindikasikan Menteri ESDM telah dengan sengaja melanggar ketentuan UU No.4/2009.

Berdasarkan catatan Iress, sebelum kontraknya berakhir, Koba Tin telah mengirim permohonan perpanjangan kontrak kepada Pemerintah pada 6 Januari 2011. Terlepas apakah permohonan tersebut dipenuhi, sebenarnya cukup banyak waktu bagi pemerintah untuk mengambil keputusan. Tapi kenyataannya, Iress menilai, keputusan diambil saat kontrak akan segera berakhir. 

Dalam penilaian Iress, kontrak Koba Tin  tidak layak diperpanjang. Alasannya, sejak 2009, 2010, 2011 hingga 2012 Koba Tin telah merugi masing-masing US$ 6,1 juta, US$ 4,1 juta, US$ 6.3 juta dan US$ 37 juta.

Akibatnya, negara tidak memperoleh penerimaan pajak dari KK tersebut. Koba Tin pun mempunyai kewajiban hutang kepada kontraktor jasa pertambangan yang berpotensi mengganggu kestabilan perusahaan ke depan. Bahkan, akibat penyelewengan keuangan, PT Timah yang memiliki 25% saham di Koba Tin telah kehilangan nilai saham sekitar Rp 65 miliar.

Padahal, PT Timah dan Pemerintah Provinsi Babel telah berulangkali menyatakan minat untuk mengelola wilayah tambang yang akan ditinggalkan oleh Koba Tin. Oleh sebab itu, sangat wajar, konstitusional dan menguntungkan rakyat jika KK Koba Tin tidak diperpanjang dan wilayah kerjanya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara dan Badah Usaha Milik Daerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan