Ironi persoalan defisit BPJS Kesehatan



Defisit terus menghantui keuangan BPJS Kesehatan. Solusi yang diambil pemerintah sangat lambat hingga defisit sudah semakin melebar hingga mengganggu operasional fasilitas kesehatan. Pihak rumah sakit mulai kelimpungan karena tunggakan belum dibayar. Akibatnya, mutu pelayanan kesehatan rakyat makin terpuruk.

Langkah Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pemanfaatan cukai rokok dari daerah untuk menutup defisit keuangan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak efektif untuk mengatasi masalah defisit. Adapun mekanisme penerapan kebijakan itu, dari 50% penerimaan pajak rokok daerah, 75% untuk menutup defisit BPJS Kesehatan juga belum ada kepastian seberapa besar angkanya.

Perpres tersebut justru membuka persoalan baru terkait dengan melemahnya komitmen negara tentang bahaya merokok dan usaha pembatasan rokok bagi masyarakat. Sebelum ada Perpres, Kementerian Keuangan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 222/2017 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Tetapi Permen tersebut hasilnya belum efektif. Apalagi, pengelolaan keuangan daerah selama ini tidak transparan.


Berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), BPJS Kesehatan mengalami defisit Rp 10,98 triliun. Ini lebih rendah dari arus kas Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) 2018 BPJS Kesehatan yang terbebani dengan defisit sebesar Rp 16,5 triliun.

Jika cukai rokok gagal mengatasi defisit, pemerintah hendaknya jangan ambil jalan pintas dengan cara menaikkan premi atau nilai iuran peserta BPJS Kesehatan. Wacana itu ditentang publik karena masih banyak kekurangan terkait pelayanan.

Bahkan, beberapa kepala daerah pernah mengancam memutuskan kontrak kerja sama dengan pihak BPJS Kesehatan. Karena banyak terjadi keluhan dari masyarakat tentang pelayanan yang dianggap tidak memuaskan.

Masyarakat melihat kondisi carut-marut manajemen BPJS Kesehatan dan terjadi salah urus yang luar biasa. Mismanajemen juga terjadi sehubungan dengan alokasi anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS.

Di mana dalam APBN alokasi anggaran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS didasarkan pada cakupan jumlah penduduk miskin, ternyata tidak klop dan sarat dengan masalah. Cakupan alokasi tersebut di lapangan datanya masih tumpang tindih dan terjadi kerancuan di sana-sini. Sehingga data tidak akurat dan rawan penyelewengan.

Pemerintah daerah juga dituntut bertanggung jawab terkait dengan besarnya defisit di atas. Selama ini pemda melempar semua masalah ke pusat. Kontrol daerah terhadap pelaksanaan BPJS tidak efektif. Padahal desentralisasi layanan, program kesehatan daerah telah terintegrasi dengan BPJS Kesehatan.

Segmen yang paling terpukul jika iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dinaikkan adalah kategori peserta bukan penerima upah (PBPU) atau biasa disebut peserta mandiri. Mereka para peserta mandiri BPJS Kesehatan seperti contohnya pelaku UMKM, petani, wiraswasta, dan kelompok profesi lainnya sangat keberatan dengan kenaikan iuran.

Dengan adanya kenaikan iuran tersebut dan masih buruknya layanan yang diberikan oleh pihak BPJS Kesehatan maka kategori peserta mandiri diprediksi semakin banyak yang tidak mampu membayar premi untuk seluruh anggota keluarganya.

Kenaikan iuran merupakan langkah yang ironis dan kontraproduktif pada saat ini. Apalagi usaha untuk meningkatkan jumlah peserta kategori PBPU tengah gencar dilakukan lewat iklan besar-besaran di berbagai media.

Mestinya pemerintah memberi perhatian khusus terhadap PBPU yang mana merupakan segmen yang sangat sensitif secara ekonomi. Hal itu terlihat bahwa angka gagal mengiur dari kategori PBPU selama ini sangat besar. Begitu pula secara nasional prosentase jumlah total PBPU masih kecil.

Roadmap tentang defisit

Pemerintah hendaknya jangan mengguncang eksistensi PBPU. Semestinya mengambil jalan yang lebih bijak dengan cara menambah alokasi anggaran PBI dari tahun sebelumnya.

Masyarakat selalu menentang keras langkah sepihak pemerintah yang bernafsu untuk menaikkan lagi iuran BPJS Kesehatan. Apalagi kenaikan iuran tersebut untuk mengatasi terjadinya salah urus manajemen dan modus-modus penyelewengan yang selama ini terjadi. Masyarakat memiliki asumsi bahwa besaran iuran harusnya berdasarkan perhitungan jumlah penduduk Indonesia dan kewajiban seluruh warga negara mengiur dalam tahun berjalan.

Hingga kini komunikasi pihak BPJS Kesehatan kurang baik karena tidak ada roadmap tentang defisit yang akan terjadi sampai 2019, dan siapa yang akan menalangi defisit tersebut tidak terinci dengan jelas. Seharusnya sampai tahun 2019, defisit yang terjadi menjadi tanggungan pemerintah, bukannya dibebankan ke rakyat.

Masalah runyam lain yang terjadi adalah disparitas biaya pengobatan antara standar yang diberlakukan oleh Menteri Kesehatan dengan biaya faktual di lapangan. Pemerintah belum berhasil dalam menerapkan standar biaya pengobatan penyakit, sehingga ada dokter yang merasa dibayar terlalu kecil oleh BPJS Kesehatan.

Sebagian besar rumahsakit di Indonesia masih dijadikan lahan bisnis yang semata untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dengan fakta fakta tersebut, seharusnya pemerintah membenahi dahulu seluruh permasalahan tersebut, bukan malah menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Terkait dengan aspek ketenagakerjaan, kini iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan perusahaan banyak yang sia-sia karena pekerja tidak mau memanfaatkan layanan jaminan itu mengingat fasilitas kesehatan tingkat pertama yang diberikan sangat buruk. Dengan demikian perusahaan terpaksa membuat layanan kesehatan lainnya. Hal itu banyak terjadi pada perusahaan.

Beberapa perusahaan terpaksa membayar dua skema jaminan kesehatan, yakni BPJS Kesehatan dan asuransi lain. Hal itu karena masih buruknya pelayanan BPJS Kesehatan di tingkat bawah, akibatnya kaum pekerja tidak sudi menerima pelayanan tersebut dan terpaksa ke tempat lain.

Dengan demikian iuran buruh dan perusahaan menjadi sia-sia dan merupakan pemborosan nasional yang sangat besar. Hingga kini kaum pekerja menuntut agar fasilitas kesehatan tingkat pertama harus bermutu. Pelayanan saatnya diarahkan ke kawasan perusahaan atau permukiman kaum pekerja.

Untuk itu perlu diperbanyak dokter perusahaan atau rumah sakit pekerja yang berkualitas dan mampu memberikan pelayanan yang prima. Hingga kini jumlah dokter dan poliklinik yang merupakan fasilitas kesehatan BPJS di daerah-daerah masih sangat terbatas. Bahkan, poliklinik yang ditunjuk rata-rata memiliki kondisi yang di bawah rata-rata. Fasilitas itu juga tidak buka praktik selama 24 jam, dan tutup pada akhir pekan serta hari-hari besar.•

Arif Minardi Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja LEM-SPSI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi