Mencintai komik sejak bangku sekolah dasar (SD) membuat Is Yuniarto setia untuk terjun ke dunia yang sedang "mati suri" ini. Dengan semangat baja, Is mencoba melawan stigma negatif masyarakat yang melihat komik Indonesia tidak berkualitas.Mati suri. Dua kata itulah yang tercetus dari Is Yuniarto saat menggambarkan dunia komik Indonesia. Saat ini, komik produksi lokal sepertinya tergulung tsunami komik karya negeri sakura. Anak-anak dan remaja Indonesia lebih memilih komik seperti Naruto, One Piece, Bleach, Crayon Shin-chan dibandingkan dengan karya-karya komikus dalam negeri. Walaupun berjalan di tempat, Is Yulianto yang menjadi Finalis International Young Creative Entrepreneur Award 2010 ini tetap setia dan percaya suatu saat akan muncul harapan yang lebih baik bagi dunia komik Indonesia. Pria kelahiran Semarang, 22 Juni 1981 ini mengaku sudah tertarik dengan komik sejak SD. Ia tertarik membuat komik lantaran suka menonton film kartun. "Setelah film selesai diputar, saya kerap membuat cerita kartun versi saya sendiri dalam bentuk komik," ujarnya.Sejak tahun 2005 hingga kini, Is sudah membuat 11 judul komik. Dua judul komik pertama kalinya adalah Wind Rider, lalu Knights of Apocalypse yang bergenre fiksi futuristik. "Dalam Garudayana saya mencoba bereksperimen menggubah cerita wayang dengan rasa baru," tutur Is. Dari seluruh judul yang dibuat, komik Garudayana menjadi fenomena. Komik yang bercerita tentang pemburu harta karun bernama Kinara ini, mengambil seting wayang Mahabharata sebelum perang Bharatayuda. Beberapa tokoh pewayangan seperti Gatotkaca, Pandawa, dan Kurawa tampil dalam komik ini.Dengan komik Garudayana, Is berharap anak muda akan kembali mencintai budaya Indonesia. Dia ingin membuktikan dan menampilkan bahwa wayang juga bisa menjadi komik yang keren, asyik dan populer.Garudayana mampu terjual 7.000 eksemplar. Namun, menurut Is, jumlah penjualan belum mencapai target yang diinginkan lantaran berbeda dengan capaian komik impor yang membanjir. Kurangnya brand awareness komik Indonesia menjadi kendala pemasaran. "Masih ada stigma negatif terhadap komik indonesia yang dianggap tidak berkualitas," katanya. Kendala teknis nyaris tak ada. Dari total penjualan komik yang harganya berkisar Rp 12.500 - Rp 16.000, ia mendapatkan royalti sebesar 10%.Selain stigma negatif tersebut, distribusi buku yang belum merata juga menjadi masalah tersendiri. Apalagi, menurutnya, dukungan penerbit terhadap komiknya belum maksimal. Sebab, industri komik lokal baru sebatas produksi atau cetak untuk kemudian dipasarkan ke toko buku. "Belum ada promosi atau penetrasi nyata," ujarnya.Namun, Is tetap optimistis prospek komik nasional ke depan akan semakin maju. Meningkatnya akses teknologi dan media, secara tidak langsung akan membantu dalam proses promosi. Bagi Is, yang utama adalah memperjuangkan idealisme bagi komik Indonesia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Is Yuniarto melawan stigma negatif masyarakat terhadap komik lokal
Mencintai komik sejak bangku sekolah dasar (SD) membuat Is Yuniarto setia untuk terjun ke dunia yang sedang "mati suri" ini. Dengan semangat baja, Is mencoba melawan stigma negatif masyarakat yang melihat komik Indonesia tidak berkualitas.Mati suri. Dua kata itulah yang tercetus dari Is Yuniarto saat menggambarkan dunia komik Indonesia. Saat ini, komik produksi lokal sepertinya tergulung tsunami komik karya negeri sakura. Anak-anak dan remaja Indonesia lebih memilih komik seperti Naruto, One Piece, Bleach, Crayon Shin-chan dibandingkan dengan karya-karya komikus dalam negeri. Walaupun berjalan di tempat, Is Yulianto yang menjadi Finalis International Young Creative Entrepreneur Award 2010 ini tetap setia dan percaya suatu saat akan muncul harapan yang lebih baik bagi dunia komik Indonesia. Pria kelahiran Semarang, 22 Juni 1981 ini mengaku sudah tertarik dengan komik sejak SD. Ia tertarik membuat komik lantaran suka menonton film kartun. "Setelah film selesai diputar, saya kerap membuat cerita kartun versi saya sendiri dalam bentuk komik," ujarnya.Sejak tahun 2005 hingga kini, Is sudah membuat 11 judul komik. Dua judul komik pertama kalinya adalah Wind Rider, lalu Knights of Apocalypse yang bergenre fiksi futuristik. "Dalam Garudayana saya mencoba bereksperimen menggubah cerita wayang dengan rasa baru," tutur Is. Dari seluruh judul yang dibuat, komik Garudayana menjadi fenomena. Komik yang bercerita tentang pemburu harta karun bernama Kinara ini, mengambil seting wayang Mahabharata sebelum perang Bharatayuda. Beberapa tokoh pewayangan seperti Gatotkaca, Pandawa, dan Kurawa tampil dalam komik ini.Dengan komik Garudayana, Is berharap anak muda akan kembali mencintai budaya Indonesia. Dia ingin membuktikan dan menampilkan bahwa wayang juga bisa menjadi komik yang keren, asyik dan populer.Garudayana mampu terjual 7.000 eksemplar. Namun, menurut Is, jumlah penjualan belum mencapai target yang diinginkan lantaran berbeda dengan capaian komik impor yang membanjir. Kurangnya brand awareness komik Indonesia menjadi kendala pemasaran. "Masih ada stigma negatif terhadap komik indonesia yang dianggap tidak berkualitas," katanya. Kendala teknis nyaris tak ada. Dari total penjualan komik yang harganya berkisar Rp 12.500 - Rp 16.000, ia mendapatkan royalti sebesar 10%.Selain stigma negatif tersebut, distribusi buku yang belum merata juga menjadi masalah tersendiri. Apalagi, menurutnya, dukungan penerbit terhadap komiknya belum maksimal. Sebab, industri komik lokal baru sebatas produksi atau cetak untuk kemudian dipasarkan ke toko buku. "Belum ada promosi atau penetrasi nyata," ujarnya.Namun, Is tetap optimistis prospek komik nasional ke depan akan semakin maju. Meningkatnya akses teknologi dan media, secara tidak langsung akan membantu dalam proses promosi. Bagi Is, yang utama adalah memperjuangkan idealisme bagi komik Indonesia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News