Istaka Karya Ajukan 12 Bukti



JAKARTA. Setelah sebelumnya PT Japan Asia Investment Company (JAIC) mengajukan bukti, kini gilirian PT Istaka Karya (Persero) yang mengaajukan bukti dalam sidang lanjutan sengketa kepailitan. Perusahaan konstruksi plat merah itu mengajukan 12 bukti untuk menepis permohonan JAIC.

"Bukti yang kami ajukan sebanyak 12 bukti yang semuanya mendukung dalil-dalil penolakan pailit Istaka," kata Taufik Hais, kuasa hukum Istaka Karya melalui pesan singkat kepada KONTAN, Minggu(5/12).

Sebagaimana mengacu pada Pasal 2 ayat 5 UU No.37 tahun 2004, perusahaan BUMN dapat diajukan kepailitan jika hanya diajukan oleh Menteri Keuangan dan Istaka merupakan BUMN yang seluruh atau sebagain sahamnya dimiliki oleh negara.


Istaka Karya berdiri tahun 1980 dengan nama semula PT Indonesia Consortium 0f Construction Industrie (ICCI) yang pemegang saham saat itu Departemen Pekerjaan Umum. Seiriang berjalannya waktu dan setelah pemerintah melakukan penyertaan modal saham ICCI berdasarkan PP No.19 Tahun 1983 tentang Penyertaan Modal Negara I, ICCI berubah menjadi BUMN.

Melalui RUPSLB tertanggal 27 Maret 1986, ICCI merubah anggaran dasarnya dan resmi namanya menjadi Istaka Karya. Kesimpulan kepemilikan seluruh saham Istaka adalah Kementrian BUMN sebagaiman Akta Pernyataan keputusan pemegang saham tertanggal 4 Desember 2008.

Tidak hanya itu permohonan kepailitan yang diajukan JAIC ini belum dapat diputus. Pasalnya proses hukum terkait putusan MA itu belum selesai, lantaran Istaka Karya mengajukan upaya peninjauan kembali (PK). Disamping itu Istaka Karya sejauh ini masih prosepektif. Itu dibuktikan sampai saat ini masih mengerjakan dan menerima proyek yang menyangkut kepentingan umum baik dari dalam mau pun luar. "Dengan demikian unsur-unsur pembuktiannya tidak sederhana," jelasnya.

Sebelumnya, JAIC memohonkan pailit Istaka Karya tidak kunjung melaksanakan Putusan Mahkamah Agung yang menghukum Istaka melunasi total utang tertunggak sebesar US$ 7,645,000. Tony Budidjaja menyatakan kontraktor plat merah dapat dinyatakan pailit menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang karena ada fakta yang sangat jelas bahwa Istaka telah tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada sejumlah krediturnya, termasuk JAIC.

JAIC menilai kekayaan atau aset Istaka bukan merupakan aset negara, melainkan aset Istaka sendiri. Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung (Rakernas MA) 2010 pun telah menegaskan bahwa harta kekayaan BUMN dapat disita oleh pengadilan.

Kasus ini bermula ketika 9 Desember 1998 silam, Istaka Karya menerbitkan6 negotiable promissory notes bearer dengan nilai mencapai US$5,5 juta. Surat berharga itu jatuh tempo sebulan kemudian pada 8 januari 1999. Surat berharga itu diterbitkan dalam bentuk atas unjuk. Artinya penerbit hartus membayar kepada pembawa surat. Nah, JAIC adalah pemegang surat berharga tersebut. Meski telah dapat menunjukan memilik surat berharga tersebut, Istaka tidak kunjung memenuhi kewajibannya.

Akhirnya sengketa ini berlanjut ke PN Jakarta Selatan pada Juli 2006. JAIC menuntut agar Istaka membayar utang pokok pembayaran surat sebesar US$5,5 juta, ditambah bunga US$2 juta. Pengadilan pun akhirnya mengabulkan gugatan JIAC dan memerintahkan Istaka untuk melunasi semua utang plus bunga.

Kalah di tingkat pertama, Istaka mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan membuahkan hasil. PT memenangkan Istaka. Namun di MA, Istaka kembali gigit jari karena menjadi pihak yang kalah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini