Istaka Karya minta pengadilan tolak permohonan kepailitan JAIC



JAKARTA. Sengketa kepailitan PT Istaka Karya (persero) kini telah bergulir di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Perusahaan kontraktor plat merah itu meminta Pengadilan menolak permohonan kepailitan yang diajukan PT Japan Asia Investment Company (JAIC). Lantaran JAIC tidak mempunyai legal standing untuk memailitkan Istaka Karya.

"Mengacu pasal 2 ayat 5 UU No.37 tahun 2004, perusahaan BUMN dapat diajukan kepailitan jika hanya diajukan oleh Menteri Keuangan," katanya Taufik Hais, kuasa hukum Istaka Karya, Selasa (16/11).

Taufik memastikan jika Istaka Karya merupakan BUMN yang seluruh atau sebagian sahamnya dimiliki oleh negara. Istaka Karya berdiri tahun 1980 dengan nama semula PT Indonesia Consortium 0f Construction Industry (ICCI) yang pemegang saham saat itu Departemen Pekerjaan Umum.


Seiring berjalannya waktu dan setelah pemerintah melakukan penyertaan modal saham ICCI berdasarkan PP No.19 Tahun 1983 tentang Penyertaan Modal Negara I. ICCI berubah menjadi BUMN.

Melalui RUPSLB tertanggal 27 Maret 1986, ICCI mengubah anggaran dasarnya dan resmi namanya menjadi Istaka Karya. Kesimpulan kepemilikan seluruh saham Istaka adalah Kementerian BUMN sebagaimana Akta Pernyataan keputusan pemegang saham tertanggal 4 Desember 2008. "Pemerintah memegang sebanyak Rp.50 ribu saham atau senilai Rp.50 miliar Istaka Karya," katanya.

Selain itu, Taufik menilai permohonan kepailitan yang mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) ini belum dapat diputus. Pasalnya proses hukum terkait putusan MA itu belum selesai, lantaran Istaka Karya mengajukan upaya peninjauan kembali (PK).

Tak hanya itu, Istaka Karya sejauh ini masih prospektif. Itu dibuktikan sampai saat ini masih mengerjakan dan menerima proyek yang menyangkut kepentingan umum baik dari dalam mau pun luar. "Dengan demikian unsur-unsur pembuktiannya tidak sederhana," jelasnya.

Sebelumnya, JAIC memohonkan pailit Istaka Karya tidak kunjung melaksanakan Putusan Mahkamah Agung yang menghukum Istaka melunasi total utang tertunggak sebesar US$ 7,645,000. Tony Budidjaja menyatakan kontraktor plat merah dapat dinyatakan pailit menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang karena ada fakta yang sangat jelas bahwa Istaka tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada sejumlah krediturnya, termasuk JAIC.

Tony menambahkan bahwa kekayaan atau aset Istaka bukan merupakan aset negara, melainkan aset Istaka sendiri. Hasil Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung (Rakernas MA) 2010 pun telah menegaskan bahwa harta kekayaan BUMN dapat disita oleh pengadilan.

Kasus ini bermula ketika 9 Desember 1998 silam, Istaka Karya menerbitkan 6 negotiable promissory notes bearer dengan nilai mencapai US$ 5,5 juta. Surat berharga itu jatuh tempo sebulan kemudian pada 8 Januari 1999. Surat berharga itu diterbitkan dalam bentuk atas unjuk. Artinya penerbit harus membayar kepada pembawa surat. Nah, JAIC adalah pemegang surat berharga tersebut. Tapi meski JAIC telah dapat menunjukkan memiliki surat berharga tersebut, Istaka tidak kunjung memenuhi kewajibannya.

Akhirnya sengketa ini berlanjut ke PN Jakarta Selatan pada Juli 2006. JAIC menuntut agar Istaka membayar utang pokok pembayaran surat sebesar US$5,5 juta, ditambah bunga US$ 2 juta. Pengadilan pun akhirnya mengabulkan gugatan JAIC dan memerintahkan Istaka untuk melunasi semua utang plus bunga.

Kalah di tingkat pertama, Istaka mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan membuahkan hasil. Pengadilan Tinggi memenangkan Istaka. Namun di MA, Istaka kembali gigit jari karena menjadi pihak yang kalah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.