Istana: Waspada ekonomi setahun ke depan



JAKARTA. Perekonomian Indonesia untuk satu tahun ke depan diprediksi masih akan mengalami sejumlah tantangan terutama yang bersumber dari faktor eksternal. Karena itu, kesiapsiagaan para pengambil kebijakan baik dari sisi moneter, fiskal maupun sektor riil akan sangat menentukan fundamental ekonomi Indonesia dalam jangka pendek.

Demikian pendapat yang disampaikan staf khusus presiden bidang ekonomi dan pembangunan Firmanzah menanggapi melemahnya nilai tukar rupiah yang sudah menembus angka Rp 12.000 lebih, sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia sudah mencapai angka 5.000.

“Itu sesuai dengan prediksi kita sebelumnya bahwa rupiah masih akan mengalami tekanan akibat dari kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) yang akan mengakhiri (tapering-off) pemberian stimulus moneter non-konvensional (quantitative easing-QE III),” kata Firmanzah dikutip dari setkab.go.id, Senin (29/9).


Meskipun sejumlah pihak menganggap tidak ada kaitan, menurut Firmanzah, penurunan IHSG juga menunjukkan bahwa kebijakan Bank Sentral AS itu juga mendorong terjadinya pelarian modal (capital outflow) di negeri kita melalui konsolidasi di pasar modal.

Firmanzah mengingatkan, selain pengakhiran pemberian stimulus moneter non-konvensional, indikator di bidang ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi di AS saat ini sudah membaik, sehingga ada kemungkinan Bank Sentral negara tersebut akan menaikkan suku bunga acua (The Fed rate). Jika ini dilakukan, maka bisa dipastikan bank-bank sentral negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga akan menaikkan sukubunga acuan untuk mencegah derasnya aliran modal keluar (capital outflow).

“Kalau BI ikut menaikkan suku bunga acuan, maka dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan setinggi seperti asumsi makro dalam APBN 2015 yang disepakati sebesar 5.8%,” papar Firmanzah.

Firmanzah memaparkan, kenaikan sukubunga akan berdampak pada perekonomian, investasi, penciptaan lapangan kerja serta sector riil secara keseluruhan.

Meningkatnya sukubunga acuan, lanjut Firmanzah, akan membuat masyarakat melakukan penundaan konsumsi dan cenderung menempatkan dananya di sektor perbankan. Sementara dari sisi perbankan, terdapat pilihan kebijakan di antaranya adalah mengurangi Net Interest Margin (NIM) atau menyesuiakan sukubunga pinjaman, yang beresiko meningkatnya kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL).

Selain tekanan dari AS, Firmanzah mengingatkan, bahwa perekonomian nasional juga akan dihadapkan pada sejumlah factor eksternal seperti perlambatan ekonomi besar dunia seperti yang terjadi di Tiongkok dan Eropa. Sementara itu, trend pelemahan harga komoditas dunia serta instabilitas politik dan keamanan sejumlah kawasan juga akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia.

“Meskipun ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung pada aktivitas ekspor sebesar perekonomian sejumlah negara di ASEAN seperti singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam, namun tetap saja sejumlah faktor itu akan berdampak pada laju pertumbuhan volume dan nilai ekspor nasional,” tutur Firmanzah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto