Isu-Isu Penting di Balik Eforia Obama



JAKARTA. Ini adalah momen yang sangat bersejarah. Amerika Serikat (AS) memiliki presiden berkulit hitam pertama, Barack Obama. Ia lebih lunak terhadap Irak dan berjanji tidak akan sengawur George W. Bush dalam perang melawan terorisme. Kita bisa berharap dunia akan lebih toleran terhadap perbedaan ras dan agama.

Tapi, janganlah berlama-lama larut dalam eforia sejarah. Belum tentu secara keseluruhan kehadiran Obama sebagai Presiden AS akan menguntungkan Indonesia, kendati ia sempat menghabiskan sebagian masa kanak-kanaknya di Jakarta.

Karena ikatan emosional itu, memang banyak warga Indonesia menyambut gembira kemenangan Obama. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun ikut-ikutan gembira. Bahkan, lantaran ingin tampil sempurna, Presiden SBY harus menggunakan telepromter untuk menyampaikan ucapan selamat kepada presiden baru Amerika Serikat.


Cuma, kita semua perlu memiliki pandangan lain yang lebih kritis. Warga Indonesia harus lebih realistis dalam menghadapi kemenangan Obama. Berikut adalah beberapa butir faktor kritis yang perlu kita cermati lebih seksama.

Industri dan perdagangan

Sejumlah pengusaha yakin Obama tak akan bisa mengubah Amerika Serikat dengan cepat dan signifikan untuk mengatasi krisis keuangan global. Obama pasti lebih memprioritaskan pemulihan kondisi ekonomi dalam negerinya.

Karena itu, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memperkirakan, "Recovery Amerika butuh waktu dua tahun. Jadi jangan terlalu berharap banyak," kata Ketua Kadin MS Hidayat.

Selain itu, Partai Demokrat yang kini menguasai kekuasaan politik di AS secara mutlak karena juga meraih mayoritas di Senat dan Kongres, akan bersikap lebih realistis. Selama ini, kebijakan Partai Demokrat tidak selalu menguntungkan pengusaha.

Departemen Perindustrian (Deprin) setuju dengan Hidayat. Sekretaris Jenderal Deprin Agus Tjahjana mengatakan, kemenangan Obama tidak akan berpengaruh besar terhadap sektor industri di Indonesia khususnya tekstil dan produk tekstil (TPT), kerajinan maupun sepatu yang selama ini menjadi ekspor unggulan ke Amerika Serikat.

Sebabnya, penurunan ekspor saat ini bukan lantaran siapa yang menjadi presiden melainkan karena krisis ekonomi global. "Penurunan ekspor hanya sementara, kalau krisisnya sudah tidak terjadi pasti akan melesat kembali," paparnya.

Masalah HAM dan Militer

Kerikil tajam yang seringkali jadi penghambat hubungan antara Amerika Serikat dengan Indonesia adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM). Partai Demokrat, partai pendukung Obama, merupakan partai yang sangat ceriwis soal penegakan HAM.  Soal ini, Indonesia sudah pernah mempunyai pengalaman buruk. 

Tentu kita masih ingat, paska jajak pendapat di Timor Timur yang berujung lepas provinsi ke 27 Indonesia itu, tentara Indonesia benar-benar babak belur dihajar embargo persenjataan oleh Amerika Serikat. Akibatnya, pesawat-pesawat tempur buatan Amerika seperti F-16 dan F-5 tak bisa terbang. Bahkan pesawat angkut Hercules harus dikanibal untuk bisa menerbangkan Hercules yang lain.

Bagi kalangan aktivis HAM, kemenangan Obama tentu sebuah kabar  gembira. Apalagi saat ini Partai Demokrat semakin berkuasa setelah menguasai kursi Senat maupun House of Representative (DPR AS). Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan  (Kontras) Usman Hamid, menyebut kasus pembunuhan Munir, pelanggaran HAM di Papua atau Timor Timur pengecam terkerasnya adalah Partai Demokrat. "Tidak seperti ketika Bush memimpin, undang-undang yang baru digodok seperti UU intelijen, UU Rahasia Negara, UU Anti teroris yang banyak mengadopsi kebijakan AS terhadap terorisme tanpa menaruh perhatian lebih ke masalah HAM," katanya.

Karena itu, Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim mengingatkan, hubungan Indonesia dan Amerika ini akan sangat tergantung pada kebijakan politik Pemerintah RI dalam hal penguatan demokrasi dan pengembangan yudisial.

Lingkungan Hidup

Dalam kampanyenya, Obama bertekad mengurangi emisi efek rumah kaca. Dia juga menentang perusakan lingkungan seperti penebangan hutan. Bahkan dia bertekad bekerjasama dengan menanggulangi perubahan iklim bersama United Nation Framework Convention on Climate Change( UNFCC).

Menteri Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar yakin Amerika Serikat di bawah Obama akan meratifikasi Protokol Kyoto. Selain itu, Rahmat senang karena bantuan Amerika Serikat untuk pelestarian lingkungan bakal mengalir kencang.

Tapi, ini juga bisa merugikan Indonesia yang memiliki reputasi buruk sebagai perusak hutan. Konversi hutan menjadi kebun sawit, misalnya, bisa menjadi penghambat pemasaran minyak sawit kita.

Buruh

Isu perburuhan juga sensitif. Mungkin kita masih ingat bagaimana Amerika bersikap paska pembunuhan aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo. Ketika itu delegasi United States Trade Representative (USTR) mendesak agar kasus ini segera diungkap. Kalau tidak fasilitas GSP (Generalized System of Preferences), yaitu keringanan bea masuk ke AS untuk sejumlah komoditi tertentu bakal dicabut. Pemerintah pun gentar dan militer lebih hati-hati menangani isu perburuhan.

Dengan berkuasanya Obama, para buruh pun senang. Mereka kini punya backing yang ampuh.  Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Yanuar Rizki menilai, terpilihnya Obama bisa menekan pemerintah dan pengusaha Indonesia untuk memperlakukan buruh secara lebih layak.

Sebaliknya, bagi pengusaha kebijakan ini bisa menjadi masalah. Amerika bisa menuntut pemakaian standar lebih tinggi bagi industri Indonesia untuk upah dan perlakuan buruh jika ingin menembus pasar Amerika.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie