KONTAN.CO.ID - Jakarta Laporan Global Risk Report yang dikeluarkan oleh World Economic Forum menyoroti sejumlah risiko utama dalam waktu dua-tiga tahun ini. Risiko global yang menempati urutan tertinggi adalah persoalan beban ekonomi dan biaya hidup yang semakin tinggi. Ini seolah menunjukkan bahwa dalam jangka pendek kelompok masyarakat yang paling rentan dan negara-negara yang rapuh akan mengalami tekanan paling parah. Hal ini salah satunya dipicu oleh tekanan pandemik yang telah membatasi berbagai aktivitas perekonomian secara normal. Persoalan-persoalan ini akan memperburuk persoalan yang sudah ada seperti kemiskinan, kelaparan dan protes sosial masyrakat. Selain masalah kesejahteraan sosial, risiko besar lainnya terkait dengan isu lingkungan dan perubahan iklim. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan the Global Risk Report, berulang-ulang menunjukkan bahwa isu lingkungan dan perubahan iklim merupakan risiko yang selalu muncul teratas. Dalam konteks global, perubahan iklim dan dampaknya yang semakin nyata. Di sejumlah negara, hal ini telah mendorong kesadaran global akan pentingnya keberlanjutan. Keberlanjutan tidak hanya penting bagi lingkungan, tetapi juga bagi ekonomi dan masyarakat.
Di sini sektor keuangan, khususnya sektor perbankan, memiliki peran penting dalam mendorong praktik keberlanjutan di kalangan korporasi. Sektor perbankan, sebagai salah satu pilar utama industri keuangan, memiliki potensi besar untuk mendorong praktik ESG (Environmental, Social, and Governance) di kalangan perusahaan korporasi, yang merupakan langkah penting menuju pembangunan berkelanjutan. Pertanyaan muncul mengapa sektor perbankan perlu lebih aktif lagi mengambil peran dalam bidang keberlanjutan? Pertama, sektor perbankan memiliki keterkaitan yang erat dengan keberlanjutan karena bank memainkan peran penting dalam mengalokasikan sumber daya keuangan. Keputusan pembiayaan yang diambil oleh bank dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat. Dalam banyak situasi, kami mengamati bahwa institusi keuangan yang abai terhadap faktor-faktor lingkungan (environment), sosial (Social), dan tata Kelola (Governance) (ESG) dalam pengambilan keputusan pembiayaan mereka berisiko menghadapi dampak negatif. Beberapa antara lain adanya peningkatan risiko kredit. Sejumlah studi menunjukkan bahwa dunia usaha yang tidak memiliki praktik ESG yang baik lebih rentan terhadap risiko-risiko keuangan terkait perubahan iklim dan dampaknya, seperti bencana alam, perubahan permintaan konsumen, dan perubahan peraturan pemerintah. Selain itu risiko reputasi juga menjadi hal penting yang perlu diperhatikan bagi dunia keuangan yang abai terhadap isu-isu ESG. Hasil penelitian Mandiri Institute terkait dengan implementasi ESG menunjukkan bahwa konsumen dan investor semakin memperhatikan faktor-faktor ESG dalam pengambilan keputusan mereka. Risiko reputasi muncul ketika institusi keuangan yang mendukung korporasi yang tidak memiliki praktik ESG yang baik dapat merusak reputasi mereka dan kehilangan kepercayaan dari nasabah. Hal lain yang perlu menjadi pengamatan adalah isu ketidakberlanjutan proses bisnis dalam jangka panjang. Praktik ESG yang buruk dapat menyebabkan korporasi mengalami kesulitan dalam jangka panjang, karena mereka tidak dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungan, sosial, dan ekonomi. Untuk memitigasi risiko ini, sektor perbankan dapat memainkan peran penting dalam mendorong praktik ESG di kalangan korporasi dengan menggunakan berbagai instrumen yang tersedia.
Pertama, dunia perbankan dapat melakukan integrasi ESG dalam proses pembiayaan. Dalam konteks ini perbankan dapat mengintegrasikan faktor-faktor ESG dalam proses pembiayaan mereka, dengan memberikan preferensi pada korporasi yang memiliki praktik ESG yang baik. Bank dapat melakukan penilaian ESG terhadap korporasi sebelum memberikan pembiayaan, menggunakan kriteria ESG dalam menentukan suku bunga pinjaman, dan memberikan persyaratan khusus terkait ESG dalam perjanjian pembiayaan. Selain itu perbankan dapat menemukan berbagai kesempatan yang luas terkait dengan pengembangan produk dan layanan ESG. Dalam hal ini perbankan dapat mengembangkan produk dan layanan ESG yang inovatif, seperti pinjaman hijau, obligasi hijau, dan asuransi ESG. Produk-produk ini dapat memberikan insentif bagi korporasi untuk menerapkan praktik ESG yang lebih baik. Di tingkat global, kita juga menyaksikan meningkatnya instrumen pendanaan berkelanjutan, mulai dari obligasi hijau (green bonds), obligasi sosial (social bonds) dan pinjaman terkait keberlanjutan (sustainable-linked loan) telah membangun perspektif dan pendekatan investasi baru terhadap risiko dan peluang jangka panjang terkait isu-isu lingkungan. Antara tahun 2019 dan 2022, investasi yang mengalir ke bidang ESG telah tumbuh secara eksponensial. Penerbitan utang berkelanjutan, sebagai representasi dari mobilisasi sumber daya dan modal, meningkat lebih dari tiga kali lipat dari USD615,4 miliar pada tahun 2019 menjadi USD1,701,1 miliar pada tahun 2022. Hal yang juga penting ada membangun kesadaran terkait isu-isu keberlanjutan. Dalam hal ini literasi terkait ESG diharapkan akan memainkan peranan yang sentral dalam membangun ekosistem terkait keberlanjutan. Dalam hal ini perbankan dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan organisasi non-profit untuk meningkatkan literasi ESG di kalangan korporasi dan masyarakat. Bank dapat menyelenggarakan pelatihan dan seminar tentang ESG, menerbitkan laporan dan studi tentang ESG, dan mempromosikan praktik ESG melalui berbagai media. Peran Mandiri Institute melalui kajian terkait implementasi ESG merupakan bagian dari upaya peningkatan literasi terkait ESG Perbankan juga dapat menjadi mitra yang mendukung kebijakan pemerintah dalam wilayah keberlanjutan. Perbankan dapat mendukung kebijakan pemerintah yang mendorong praktik ESG di kalangan korporasi. Bank dapat memberikan masukan kepada pemerintah dalam pengembangan kebijakan ESG, terlibat dalam implementasi kebijakan ESG, dan mematuhi peraturan ESG yang berlaku. Bank Mandiri sendiri telah Bank Mandiri telah menyusun
ESG Strategy melalui 3 pilar strategi. Dalam Pilar pertama melalui konsep sustainable banking, bank Mandiri berkomitmen untuk
Lead Indonesia’s Transition to Low Carbon Economy. Hingga September 2023, Bank Mandiri telah menyalurkan
Sustainable Portofolio sebesar Rp 253 Tn atau 25% dari total kredit (Bank Only) dengan penyaluran Social Financing sebesar Rp. 131 Tn dan
Green Financing sebesar Rp 122 Tn. Bank Mandiri juga menyalurkan
Sustainability-Linked Loan dan transition loan sebesar Rp 3.2 Tn. Dalam hal penghimpunan dana, Bank Mandiri telah menerbitkan
Sustainability Bond sebesar USD 300 Juta dan ESG Repo sebesar USD 500 Juta. Pada tahun ini, Bank Mandiri juga telah menerbitkan
Green Bond Tahap I sebesar Rp 5 Triliun Pilar kedua yang kami tempuh melalui
Sustainable Operationi. Pada pilar ini kami menargetkan NZE Operasional tahun 2030. Kami telah melakukan langkah strategis dengan melakukan
carbon neutral initiatives antara lain: melakukan restorasi dan konservasi lahan melalui penanaman pohon. Bank Mandiri juga mengoptimalisasi digital platform dengan customer-based yang luas. Pilar terakhir adalah
Sustainability Beyond Banking. Dalam pilar ini, kami menargetkan untuk menjadi
Catalyzing for Social Impact to achieve SDG’s. Aksi nyata yang Bank Mandiri lakukan adalah dengan berbagai inisiatif inklusi keuangan melalui Mandiri
Agent, Rumah BUMN, penyaluran KUR khususnya kepada Petani dan Nelayan, penyaluran fasilitas pinjaman kepada wanita/ibu rumah tangga, memberikan pelatihan kepada petani dalam program
Rice Milling Unit (RMU), Wirausaha Muda Mandiri (WMM) yang dapat mencetak
digipreneur dan pelatihan Pekerja Migran Indonesia (PMI) melalui program Mandiri Sahabatku. Aksi nyata yang telah kami lakukan selama ini, juga telah diapresiasi sebagai The Best Indonesia’s ESG Impact dan The Best Indonesia’s Sustainable Bank oleh Finance Asia pada Juni 2023.
Hal yang perlu dicatat, upaya menuju Net Zero Emission membutuhkan alokasi sumber daya yang cukup besar. Bangsa Indonesia sendiri telah meluncurkan pasar karbon perdananya pada 26 September 2023, yang mana Bank Mandiri juga turut serta menjadi pionir dan melakukan pembelian sebagai bentuk dukungan penuh terhadap upaya pemerintah. Kami melakukan pembelian sebanyak 3.000 unit karbon dengan harga Rp. 69.600 atau sekitar US$. 4,4. Akhir kata, kami melihat bahwa sektor perbankan memiliki peran penting dalam mendorong praktik ESG di kalangan korporasi. Dengan menggunakan berbagai instrumen yang tersedia dan bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, bank dapat berkontribusi pada upaya global untuk mengatasi perubahan iklim dan menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan. Sebagai upaya untuk mendorong terciptanya diskursus terkait isu keberlanjutan dan juga dinamika kebijakan terkait perubahan iklim, Bank Mandiri menyelenggarakan acara Mandiri Sustainability Forum (MSF) yang kedua pada tanggal 7 Desember 2023. MSF kali ini mengusung tema “Sustainability Act: Why now, What is next?” Tema ini ingin mengusung bahwa kita harus bergerak sekarang untuk secara serius mengatasi perubahan iklim. Melalui forum ini, kami ingin mengukuhkan komitmen kami untuk secara serius mengatasi perubahan iklim dan mendukung upaya dekarbonisasi di Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ridwal Prima Gozal