KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yunus Saefulhak meminta kepada masyarakat supaya tidak terprovokasi adanya isu dampak lingkungan seperti lumpur Lapindo. "Saya sudah melihat PLTP di berbagai belahan dunia tidak ada yang menimbulkan bencana. Seperti di Islandia, Italia, Amerika Serikat, Filipina dan Kenya, semuanya berjalan baik," ujarnya melalui siaran pers, Senin (16/10). Menurut Yunus, karakteristik panas bumi berbeda jauh dengan minyak bumi dan gas (migas). Migas biasanya terdapat di lapisan sedimen yang lemah dan memiliki tekanan tinggi. Sedangkan panas bumi, berada di lapisan batuan beku dan bertekanan kecil. "Kalau migas tekanannya bisa mencapai 120 bar, sedangkan panas bumi hanya sekitar 20 bar," ungkapnya. Hal tersebut diungkapkan menyusul adanya penolakan dari masyarakat sekitar. Yunus mengatakan hal tersebut merupakan hal yang wajar. Pasalnya, masyarakat belum memahami sepenuhnya manfaat yang didapat dari pembangunan PLTP tersebut. Panas Bumi hanya menghasilkan sekitar 1,5% emisi CO2 dibandingkan dengan batubara dan hanya sekitar 2,7% emisi CO2 dibandingkan dengan gas. Selain menghasilkan emisi yang sangat kecil, panas bumi juga membutuhkan ruang eksplorasi yang sedikit. Dalam mengembangkan pembangkit berkapasitas 110 megawatt (MW), hanya membutuhkan lahan sekitar 40 hektare (ha) dan mensyaratkan lingkungan di atasnya dijaga baik untuk menjaga kelestarian dan ketersediaan panas bumi tersebut.
Isu lingkungan PLTP Baturaden, ini kata ESDM
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturaden tidak berdampak buruk terhadap lingkungan. Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Yunus Saefulhak meminta kepada masyarakat supaya tidak terprovokasi adanya isu dampak lingkungan seperti lumpur Lapindo. "Saya sudah melihat PLTP di berbagai belahan dunia tidak ada yang menimbulkan bencana. Seperti di Islandia, Italia, Amerika Serikat, Filipina dan Kenya, semuanya berjalan baik," ujarnya melalui siaran pers, Senin (16/10). Menurut Yunus, karakteristik panas bumi berbeda jauh dengan minyak bumi dan gas (migas). Migas biasanya terdapat di lapisan sedimen yang lemah dan memiliki tekanan tinggi. Sedangkan panas bumi, berada di lapisan batuan beku dan bertekanan kecil. "Kalau migas tekanannya bisa mencapai 120 bar, sedangkan panas bumi hanya sekitar 20 bar," ungkapnya. Hal tersebut diungkapkan menyusul adanya penolakan dari masyarakat sekitar. Yunus mengatakan hal tersebut merupakan hal yang wajar. Pasalnya, masyarakat belum memahami sepenuhnya manfaat yang didapat dari pembangunan PLTP tersebut. Panas Bumi hanya menghasilkan sekitar 1,5% emisi CO2 dibandingkan dengan batubara dan hanya sekitar 2,7% emisi CO2 dibandingkan dengan gas. Selain menghasilkan emisi yang sangat kecil, panas bumi juga membutuhkan ruang eksplorasi yang sedikit. Dalam mengembangkan pembangkit berkapasitas 110 megawatt (MW), hanya membutuhkan lahan sekitar 40 hektare (ha) dan mensyaratkan lingkungan di atasnya dijaga baik untuk menjaga kelestarian dan ketersediaan panas bumi tersebut.