Isu perpajakan bisa menekan daya beli masyarakat tahun ini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Stagnasi daya beli yang terjadi sepanjang tahun 2017 diperkirakan masih berlanjut di tahun ini. Hal ini terindikasi dari inflasi inti yang makin mengecil pada Januari 2018. Untuk itu, pemerintah perlu secepatnya membelanjakan anggaran demi memacu belanja konsumen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti Januari 2018 sebesar 2,69% year on year (YoY), melambat dibanding Desember 2017 yang sebesar 2,95% YoY. Diperkirakan daya beli masyarakat tertekan akibat harga pangan dan bahan makanan lain yang semakin mahal. Pada Januari lalu, barang bergejolak (volatile food) terjadi inflasi 2,62%, lebih tinggi dibandingkan Desember 2017 hanya 0,71%.

Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan, bahan pangan mengalami inflasi tertinggi dibandingkan komponen pengeluaran lain pada bulan lalu (lihat tabel). Penyebab utamanya adalah kenaikan harga beras dengan andil 0,24%. "Kemudian disusul oleh harga daging ayam ras dengan andil 0,07%, ikan segar 0,05%, cabai rawit 0,04%, cabai merah 0,03%," kata Suhariyanto dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (1/2).


Untuk kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau mengalami inflasi sebesar 0,43% dengan andil 0,08%. Inflasi terkait karena kenaikan harga rokok kretek filter dengan andil 0,02% dan rokok kretek dengan andil 0,01%. "Ada peraturan menteri keuangan tentang kenaikan tarif cukai rokok yang mulai berlaku 1 Januari 2018," tambah Suhariyanto.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menganalisa, isu daya beli konsumen yang lemah pada tahun 2017 masih akan berlanjut pada tahun 2018. Hal itu berkaca dari kondisi penjualan ritel Ramayana pada Desember 2017 yang masih belum mengalami perbaikan signifikan. "Isunya masih sama, masih ada daya beli yang stagnan," terang Lana.

Menurut Lana, inflasi inti tahunan Januari 2018 yang lebih lambat dibanding Januari 2017 dan Januari 2016 menunjukkan bahwa tertekannya daya beli masyarakat belum melewati titik terendah.

Ia melihat ada dua penyebab utama. Pertama, isu perpajakan. Seperti diketahui tahun ini pelaporan data nasabah dengan jumlah rekening tertentu ke Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mulai berlaku. Jika masyarakat masih mengkhawatirkan isu perpajakan maka hal itu akan membuat masyarakat menahan konsumsinya.

Kedua, harga sawit yang belum meningkat tinggi membuat konsumsi di luar Jawa masih stagnan. "Luar Jawa 42% sumbangannya ke Produk domestik Bruto (PDB), cukup besar. Sementara PDB kita 55% porsinya dari konsumsi rumah tangga," terang Lana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie