Isu The Fed warnai pergerakan IHSG bulan depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Isu pemilu memang jadi sorotan bagi para pelaku pasar selama tahun 2018 ini. Meski begitu, hal ini bukan hanya satu-satunya isu yang bisa mempengaruhi pergerakan pasar saham di tahun ini.

Selain isu politik, isu ekonomi dari luar negeri juga bakal mempengaruhi arah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tahun ini. Salah satunya datang dari Amerika Serikat (AS).

Kenaikan inflasi Amerika Serikat (AS) di Januari lalu semakin memperkuat kemungkinan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya. Kenaikan pertama pun diprediksi bakal terjadi di bulan Maret nanti. The Fed bakal menggelar pertemuan FOMC pada 20-21 Maret mendatang.


Walau secara historikal indeks saham selalu bergerak positif setiap bulan Maret, Alfatih melihat keadaan mungkin berubah di Maret 2018 ini. "Kenaikan Fed Fund Rate (FFR) berpotensi membuat IHSG terkoreksi," ungkapnya kepada KONTAN, Jumat (23/2).

Lantaran kenaikan tersebut sudah diekspektasi oleh pasar, Alfatih yakin dampak kenaikan FFR tersebut hanya akan bertahan untuk sementara waktu. Meski begitu, pasar harus tetap waspada karena kenaikan suku bunga AS juga akan membuat investor asing menarik dananya keluar dari Indonesia.

Namun, bukan berarti IHSG akan terjun bebas berkat sentimen ini. Laporan keuangan tahunan emiten yang bakal dikeluarkan selama Maret nanti dipandang bisa jadi penahan bagi indeks saham di bulan depan. Data ekonomi seperti tingkat inflasi dan data ekspor impor pun diprediksi bakal lebih baik sehingga bisa jadi penahan bagi IHSG.

"Secara teknikal pun IHSG masih berpeluang untuk naik selama bergerak di batas support 6.450 dan batas resistance 6.700." pungkas Alfatih. Oleh karena itu, ia pun yakin indeks bakal bisa menembus 6.800-7.200 di akhir tahun nanti.

Di tengah hadirnya sentimen The Fed ini, Alfatih menyarankan para investor untuk melihat memperhatikan kondisi fundamental dan teknikal saham serta sektor selama bulan Maret nanti.

Di sisi lain, sentimen suku bunga ini membuat sektor keuangan jadi semakin menarik. Begitu pula sektor konstruksi dan properti lantaran kecilnya kemungkinan bagi Bank Indonesia (BI) untuk ikut menaikkan suku bunga acuannya. Penguatan dollar yang terjadi selama sepekan lalu juga membuat sektor komoditas bisa ikut dilirik.

Tetapi, sebaiknya investor menghindari saham-saham blue chips untuk sementara waktu. "Walau masih punya potensi uptrend, saat ini saham blue chips nampak masih punya risiko koreksi karena sudah mengalami kenaikan tinggi sejak awal 2017 lalu," imbuh Alfatih.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia