Itochu tolak ganti rugi pajak GCTU



JAKARTA. Perusahaan logistik asal Jepang Itochu Logistics Corp mengklaim pihaknya tidak bertanggung jawab atas pembukuan dan pengurusan dokumen termasuk pajak terhadap PT Guna Citra Trans Utama (GCTU).

Ini merupakan jawaban Itochu atas gugatan ganti rugi yang diajukan GCTU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Hal tersebut tercantum dalam Pasal 5 ayat 2 perjanjian kerjasama keagenan yang berisi, pihak yang bertanggungjawab atas dokumen perusahaan termasuk formalitas pajak dan dokumentasinya adalah Fransisca Verdooren, Manager Administratif GCTU.


"Dalam pasal itu tertulis Ny. F sepakat untuk berkomitmen dari tanggungjawab atas hal keungan dan akutansi. Hal itu diakui pula oleh penggugat dalam gugatannya," tulis T. Mulya Lubis, kuasa hukum Itochu dalam berkas jawaban yang didapat KONTAN dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (2/2).

Dengan demikian, dalil GCTU yang mengatakan tagihan pajak sebesar Rp 19,58 miliar itu bukanlah tanggungjawabnya. Tak hanya itu, Itochu juga menilai pendirian usaha baru PT Itochu Logistic Indonesia (turut tergugat) bukan lah perbuatan melawan hukum.

Sebab, dalam perjanjian kerjasama keagenan pun Itochu tak pernah bersepakat untuk menjadikan GCTU sebagai partner lokal. Apalagi dalam perjanjian juga disebutkan, kalau kerjasama akan berakhir jika peraturan perundang-undangan yang berlaku memperolehkan investor asing mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan logistik di Indonesia.

"Tidak ada satu pun kesepakatan untuk menjadikan penggugat sebagai partner lokal dalam mendirikan PT Itochu Logistic Indonesia," tambah Mulya.

Setelah perundang-undangan tersebut berlaku di tanah air, Itochu pun telah mendiskuiskan dan negosiasi dengan GCTU soal skema kerjasama baru selain hubungan keagenan. Hal tersebut pun berupa penawaran lewat email agar seluruh pegawai GCTU dipindahkan ke PT Itochu Logistic Indonesia pada 3 Februari 2004.

Dalam jawabannya, juga Itochu mengajukan eksepsi kompetensi absolut yang menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut. Pasalnya, telah disepakati keduanya jika ada perselisihan akan diselesaikan melalui Arbitrase di Tokyo Jepang. Maka dari itu pihanya meminta putusan sela terkait eksepsi yang diajukan kepada majelis hakim.

Secara terpisah kuasa hukum GCTU Jandri O. Siadari mengatakan, hak dari Itochu untuk mengajukan eksepsi. Meski begitu, cukup beralasan bagi pihaknya untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lantaran pada praktiknya hal ini terjadi di Indonesia.

Terlepas dari itu, pihaknya pun masih akan tetap dalam gugatannya bahwa, tagihan pajak yang membengkak merupakan kewenangan dari Itochu yang telah lalai dalam menjalankan kerjasama keagenan. "Dalam perjalananya, awal tahun lalu Itochu malah membayar tagihan pajak Rp 5 miliar.

Pembayaran itu diketahuinya dari surat somasi pihak Itochu yang menagih pembayaran pajak tersebut. "Kami menjadi bertanya-tanya atas dasar apa mereka membayar?" katanya kepada KONTAN, Kamis (2/2). Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa, tagihan pajak itu merupakan kewenangan dari Itochu.

GCTU sendiri mengklaim pengakhiran kejasama dengan Itochu itu tidak sah karena tak ada kesepakatan dari dua pihak. Sehingga ia dalam gugatannya meminta untuk mengakhiri perjanjian tersebut dan meminta Itochu untuk membayar kerugian yang timbul seperti kerugian materiil sebesar US$ 565.950 dan Rp 19,733 miliar. Kemudian kerugian imateriil sebesar Rp 5 miliar.

Adapun perkara ini masih bergulir di Pengadila Negeri Jakarta Pusat, setelah upaya mediasi keduanya gagal. Majelis hakim pun kembai melanjutkan persidangan dengan memeriksa pokok perkara. Sidang pun akan dilanjutka kembali 14 Februari 2017 nanti dengan ageda replik dari GCTU.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia