JAKARTA. Keputusan pemerintah menetapkan iuran jaminan pensiun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebesar 8% dinilai akan mengekang pertumbuhan bisnis Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Apalagi, pelaksanaan iuran itu akan berlaku serentak dan wajib mulai 1 Juli 2015 mendatang. Menurut Ricky Samsico, Kepala Humas Perkumpulan DPLK, iuran yang akan ditanggung 5% oleh pengusaha dan 3% oleh pekerja tersebut terlalu besar. "Jangan sampai, dana pensiun swasta jadi pihak yang dirugikan," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (9/4). Ia memahami jika pihak pekerja menginginkan manfaat sebesar-besarnya dalam jaminan pensiun. Namun, patut diketahui, iuran jaminan pensiun 8% pun belum mampu menutup kebutuhan Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP) alias Replacement Ratio sebesar 60% - 70%. Program jaminan hari tua yang saat ini dijalankan BPJS Ketenagakerjaan jika ditambah dengan program pesangon dari pemberi kerja saja hanya memenuhi kebutuhan TPP paling banyak 25%. Itu berarti, masih ada kesenjangan sebesar 45% - 55% yang bisa dipenuhi oleh program jaminan pensiun BPJS bersama-sama dengan DPLK. Selain itu, belum banyak pekerja yang mengetahui bahwa manfaat pasti yang diperoleh dari jaminan pensiun baru bisa dirasakan setelah 15 tahun membayarkan iuran. Apabila, iuran yang dibayarkan kurang dari 15 tahun, pekerja hanya memperoleh akumulasi iuran dan pengembangan dananya. Sebelumnya, Ricky juga sempat menyebutkan kekhawatirannya terkait aksi peserta DPLK yang menarik diri dari program pensiun komersial dan mengalihkan iuran dana pensiun ke program wajib BPJS Ketenagakerjaan. "Ancamannya, peserta mengurangi iuran mereka atau menyetop program pensiun komersial," terang dia. Asal tahu saja, saat ini, pelaku usaha DPLK mencapai 25 institusi. Adapun, asetnya per Februari 2015 mencapai Rp 36,119 triliun. Pertumbuhan aset DPLK ini relatif suam-suam kuku ketimbang industri keuangan non bank lainnya, seperti asuransi. Dikhawatirkan, penetapan iuran jaminan pensiun wajib oleh BPJS Ketenagakerjaan semakin mengekang pertumbuhan bisnis DPLK. Meskipun, hingga kini keputusan pemerintah tersebut masih akan dituangkan ke dalam rancangan Peraturan Pemerintah dan belum menjadi aturan resmi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Iuran jaminan pensiun 8%, bisnis DPLK terkekang
JAKARTA. Keputusan pemerintah menetapkan iuran jaminan pensiun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan sebesar 8% dinilai akan mengekang pertumbuhan bisnis Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Apalagi, pelaksanaan iuran itu akan berlaku serentak dan wajib mulai 1 Juli 2015 mendatang. Menurut Ricky Samsico, Kepala Humas Perkumpulan DPLK, iuran yang akan ditanggung 5% oleh pengusaha dan 3% oleh pekerja tersebut terlalu besar. "Jangan sampai, dana pensiun swasta jadi pihak yang dirugikan," ujarnya kepada KONTAN, Kamis (9/4). Ia memahami jika pihak pekerja menginginkan manfaat sebesar-besarnya dalam jaminan pensiun. Namun, patut diketahui, iuran jaminan pensiun 8% pun belum mampu menutup kebutuhan Tingkat Penghasilan Pensiun (TPP) alias Replacement Ratio sebesar 60% - 70%. Program jaminan hari tua yang saat ini dijalankan BPJS Ketenagakerjaan jika ditambah dengan program pesangon dari pemberi kerja saja hanya memenuhi kebutuhan TPP paling banyak 25%. Itu berarti, masih ada kesenjangan sebesar 45% - 55% yang bisa dipenuhi oleh program jaminan pensiun BPJS bersama-sama dengan DPLK. Selain itu, belum banyak pekerja yang mengetahui bahwa manfaat pasti yang diperoleh dari jaminan pensiun baru bisa dirasakan setelah 15 tahun membayarkan iuran. Apabila, iuran yang dibayarkan kurang dari 15 tahun, pekerja hanya memperoleh akumulasi iuran dan pengembangan dananya. Sebelumnya, Ricky juga sempat menyebutkan kekhawatirannya terkait aksi peserta DPLK yang menarik diri dari program pensiun komersial dan mengalihkan iuran dana pensiun ke program wajib BPJS Ketenagakerjaan. "Ancamannya, peserta mengurangi iuran mereka atau menyetop program pensiun komersial," terang dia. Asal tahu saja, saat ini, pelaku usaha DPLK mencapai 25 institusi. Adapun, asetnya per Februari 2015 mencapai Rp 36,119 triliun. Pertumbuhan aset DPLK ini relatif suam-suam kuku ketimbang industri keuangan non bank lainnya, seperti asuransi. Dikhawatirkan, penetapan iuran jaminan pensiun wajib oleh BPJS Ketenagakerjaan semakin mengekang pertumbuhan bisnis DPLK. Meskipun, hingga kini keputusan pemerintah tersebut masih akan dituangkan ke dalam rancangan Peraturan Pemerintah dan belum menjadi aturan resmi. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News