Jadi Blue Chip, Apakah Saham ARTO Milik Bank Jago Layak Dibeli?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham ARTO dari PT Bank Jago Tbk resmi menjadi blue chip baru di indeks LQ45 mulai Agustus 2022 ini. Menjadi blue chip baru, apakah saham ARTO memiliki prospek bagus untuk investasi?

Saham blue chip adalah jenis saham dari perusahaan dengan kondisi keuangan prima, serta beroperasi selama bertahun lamanya. Di Indonesia, saham-saham yang masuk dalam kategori blue chip berada pada daftar indeks LQ45.

Saham jenis blue chip sangat cocok untuk Anda yang ingin berinvestasi jangka panjang. Pada saat pergerakan market tidak menentu, saham Blue Chip biasanya cenderung stabil.


Bukan berarti saham blue chip tidak akan mengalami penurunan. Namun saham-saham blue chip biasanya paling cepat pulih dibandingkan saham small atau mid-caps.

Namun belakangan ini harga saham ARTO dalam tren turun. Pada perdagangan Kamis 11 Agustus 2022, harga saham ARTO ditutup di level 10.775 turun 200 poin atau 1,82% dibandingkan sehari sebelumnya.

Dalam 5 hari perdagangan terakhir, harga saham ARTO terakumulasi turun 225 poin atau 2.05%. Apakah saham ARTO masih memiliki prospek bagus?

Analis CGS CIMB Sekuritas Handy Noverdanus rekomendasi hold saham ARTO dengan target harga Rp 9.825 per saham. Menurutnya, jika terjadi rebound pada saham teknologi dan bank digital global, maka dapat ikut mendorong harga saham ARTO ke depan.

Analis Sucor Sekuritas Edward Lowis juga rekomendasi hold saham ARTO dengan target harga Rp 9.500 per saham yang mencerminkan 15x dari PB 2023.

Sedangkan analis MNC Sekuritas Tirta Citradi rekomendasi beli saham ARTO dengan target Rp 15.700.

Baca Juga: IHSG Akan Mencoba Level 7.200 Pada Hari Ini (12/8)

Menurut Analis Sucor Sekuritas Edward Lowis, masuknya saham ARTO sebagai blue chip di indeks LQ45 otomatis membuat likuiditas sahamnya semakin bagus. Selain itu, ia memperkirakan saham ARTO juga akan semakin dilirik oleh investor, khususnya investor institusi.

“Kami melihat, dengan masuknya ARTO ke index LQ45 ini bisa meningkatkan conviction atau keyakinan investor-investor institusi untuk berinvestasi di ARTO, terutama untuk index fund yang berbasis index LQ45,” jelas Edward ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (11/8).

Namun, dari sisi kinerja, Edward menyebut perolehan ARTO pada kuartal II-2022 cukup mengecewakan. Pasalnya, laba bersih periode April - Juni yang sebesar Rp 10 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan perolehan kuartal I-2022 yang mencapai Rp 19 miliar.

Ia mengungkapkan, hal tersebut tidak terlepas dari tingginya biaya pencadangan, walaupun pendapatan bunga dan biaya operasional sebenarnya mengalami perbaikan. 

Jika diakumulasikan, sepanjang enam bulan pertama tahun ini, ARTO telah mengantongi laba bersih Rp 29 miliar, jauh lebih baik dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya di mana merugi Rp 47 miliar.

Dari sisi topline, ia menyebut pre-provisioning operating profit (PPOP) ARTO relatif inline dengan perolehan sebesar Rp 203 miliar pada semester I-2022. Angka tersebut jauh lebih baik dibanding semester I-2021 yang masih merugi Rp 24 miliar.

Menurutnya, kenaikan tersebut tidak terlepas dari pertumbuhan penyaluran kredit sebesar 35% dengan nilai outstanding Rp 7,3 triliun sepanjang enam bulan pertama di tahun ini.

Edward juga meyakini penyaluran kredit tersebut masih bisa akan tumbuh pada sisa tahun ini seiring integrasi dengan ekosistem GoTo yang meningkat dapat mendongkrak pengguna. Apalagi, GoTo juga berencana meluncurkan layanan pinjaman digital yang akan semakin mendorong penyaluran kredit ARTO ke depannya.

Analis MNC Sekuritas Tirta Citradi menambahkan, ARTO juga berhasil mencatatkan pendanaan yang solid seiring dengan simpanan nasabah yang tumbuh 45,2% secara kuartalan dan 259% secara tahunan per semester I-2022. Tak hanya itu, ARTO juga berhasil menambah sekitar 1 juta pelanggan setiap kuartalnya di mana per Juni 2022 jumlahnya sudah mencapai 3,3 juta pengguna.

Dengan capaian yang positif tersebut, Tirta bahkan memproyeksikan pertumbuhan simpanan nasabah ARTO pada tahun ini bisa mencapai 159% secara yoy, jauh lebih tinggi dari perkiraan semula yang hanya tumbuh 78% secara yoy.

“Kami mengekspektasikan peningkatan infrastruktur teknologi dan lebih banyak integrasi ke ekosistem GoTo akan menjadi katalis utama pertumbuhan tersebut,” imbuh Tirta. 

Selain integrasi dengan GoTo, Tirta juga melihat terdapat potensi ARTO menjalin kerjasama dengan PT BFI Finance Tbk (BFIN). Salah satu indikasinya adalah pemegang saham pengendali ARTO, Jerry Ng yang baru saja mendapatkan persetujuan OJK untuk menjadi pemegang saham pengendali bersama-sama dari BFIN.

Menurutnya, langkah tersebut membuka kemungkinan dibentuknya skema joint-financing sebagai solusi untuk menjaga strategi ekspansi kredit tetap memenuhi ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (MBPK).

“Melalui integrasi dengan GoTo yang lebih menyeluruh, serta potensi kerjasama dengan BFIN, kami mengekspektasikan pertumbuhan rata-rata tahunan penyaluran kredit ARTO pada 2020-2023 akan sebesar 191%,” jelasnya. 

Pada tahun ini, Tirta memperkirakan pendapatan ARTO akan mencapai Rp 1,38 triliun atau tumbuh 134% dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 590 miliar. Ia menilai, pertumbuhan itu akan didorong oleh portofolio pinjaman ARTO yang memiliki eksposur tinggi pada lini konsumtif dan UMKM, serta cost of fund (CoF) yang lebih rendah di level 2,7% sejalan dengan penguatan CASA. 

Namun, seiring dengan normalisasi level Non Performing Loan (NPL) dengan asumsi di level 2,3%, serta proyeksi credit cost yang berada di level 4% di tengah penyaluran pinjaman yang agresif dan biaya operasional yang berpotensi lebih tinggi di paruh kedua tahun ini, Tirta memangkas proyeksi laba bersih ARTO pada tahun ini dari Rp 295 miliar menjadi Rp 184 miliar. 

Itulah rekomendasi saham ARTO yang kini menjadi blue chip LQ45. Ingat disclaimer, segala risiko investasi atas rekomendasi saham ARTO di atas menjadi tanggung jawab Anda sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto