Jadi Tulang Punggung Ekonomi, Industri Sawit Dibayangi Ketidaksinkronan Aturan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik di industri sawit nasional akibat ketidaksinkronan aturan akan melahirkan ketidakpastian bisnis yang berpotensi merugikan masyarakat dan juga negara.

Hal itu disampaikan Ketua Pusat Studi Sawit IPB Budi Mulyanto. Ia bilang, industri sawit merupakan salah satu sektor usaha yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional sehingga pemerintah wajib menjamin kemudahan dan kepastian berusaha di sektor ini.

Menurutnya, industri sawit memberikan kesempatan kerja bagi jutaan masyarakat dan penerimaan ke negara sehingga pemerintah wajib  memberi perlindungan dan penguatan serta berupaya mengembangankannya 


"Sawit adalah tulang punggung pengembangan ekonomi sosial  Indonesia. Tenaga kerja yang bergantung pada sawit sangat banyak, jutaan," kata dia, Jumat (20/10).

Budi mengatakan, persoalan  di industri sawit muncul lantaran adanya perbedaan pemahaman pemangku kebijakan soal  tanah yang telah  mempunyai hak atas tanah sebagai produk administrasi pemerintah, seperti tanah-tanah yang telah mempunyai Hak Guna Usaha (HGU), Hak Milik (HM), tanah-tanah di daerah transmigrasi, tanah-tanah Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan sebagainya, yang dimasukkan ke dalam kawasan hutan sehingga menimbulkan kondisi tidak jelas dan ketidaktentraman petani sawit.

Baca Juga: HGU Sawit yang Sudah Terbit Tidak Tunduk dengan UU Cipta Kerja

Kondisi ini, kata dia, menyebabkan keresahan dilapangan yang berujung pada penurunan produksi, penurunan pendapatan petani dan kondisi yang tidak kondusif di daerah.

Menurutnya, pemerintah harusnya merapihkan data lahan dan petani  sawit, termasuk  data hak atas tanahnya. Dengan demikian  pemerintah diuntungkan dalam hal subjek pajak menjadi jelas berdasarkan nama dan alamat. Sehingga pendapatan di sektor perpajakan dapat direncanakan dan ditagihkan dengan  kepastian pendapatan yang lebih baik.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, pemerintah juga perlu melakukan penyempurnaan agar replanting bisa dilakukan. Pasalnya, dengan ketentuan saat ini ada potensi hilangnya 2,4 juta hektare (ha) lahan karena tidak bisa direplanting.

"Kalau ini terjadi kita kehilangan devisa negara Rp 119 triliun per tahun dan untuk pungutan ekspor serta bea keluar Rp112 per tahun," pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dina Hutauruk