Jaga defisit anggaran, utang ditambah



JAKARTA. Pemerintah bersiap-siap mencari tambahan amunisi untuk menambal defisit anggaran yang diprediksi  bakal melebar dari target yaitu  1,9% dari produk domestik bruto (PDB). Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencari pinjaman tambahan multilateral untuk membiayai program infrastruktur pemerintah.

Direktur Strategis dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu Schneider Siahaan bilang pemerintah mengajukan permintaan penambahan pinjaman multilateral ke World Bank atawa Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Badan Pembangunan Prancis (AFD), dan Bank Pembangunan Jerman (KFW).

Total tambahan pinjaman yang diminta berkisar US$ 1,1 miliar-US$ 1,2 miliar. "Sampai sekarang sudah dapat komitmen US$ 600 juta," ujar Sch-neider, akhir pekan lalu.


Di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015, total pinjaman program multilateral sebesar US$ 600 juta. Sumbernya dari Bank Dunia dan ADB, masing-masing US$ 300 juta. Schneider enggan menjelaskan detil tambahan pinjaman luar negeri yang diminta per tiap lembaga internasional tersebut. Saat ini pemerintah masih menunggu jawaban dari lembaga kreditur.

Jika pinjaman yang diperoleh belum mencukupi kebutuhan, pemerintah berniat memanfaatkan fasilitas standby loan. Saat ini pemerintah memiliki standby loan sebesar US$ 5 miliar. Fasilitas ini berasal dari ADB, Bank Dunia, serta pinjaman bilateral Australia dan Jepang.

Bank Dunia menyediakan pinjaman siaga US$ 2 miliar. Sedang pinjaman siaga dari ADB US$ 0,5 miliar, pemerintah Jepang US$ 1,5 miliar, dan Australia US$ 1 miliar.

Menurut Schneider, pemerintah tidak akan mengandalkan pencarian pinjaman melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Alasan dia, tahun ini pasar modal lebih bergejolak dan pemerintah akan mengantisipasi pasar.

Apalagi, dalam tiga lelang terakhir SBN, penerimaan yang masuk kurang dari target.  Seperti dalam lelang terakhir Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara yang berlangsung Selasa, 5 Mei 2015, pemerintah memasang target indikatif Rp 2 triliun. Namun, pemerintah hanya mengantongi dana Rp 1,96 triliun. Jumlah penawaran yang masuk pun hanya 1,8 kali daripada target, atau Rp 3,6 triliun. "Kami khawatir tren ini berlanjut terus," tandas Schneider.

Dia memastikan, penambahan pinjaman tidak akan melanggar undang-undang. Undang Undang (UU) APBNP memuat klausul yang mengatakan kalau terjadi shortfall pada penerimaan, dan bukan karena tambahan belanja, pemerintah bisa membiayai defisit melalui Sisa Anggaran Lebih (SAL) ataupun melalui penarikan pinjaman.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sempat memperkirakan defisit APBN-P 2015 bisa melebar hingga 2,2% dari PDB. Ini merupakan imbas realisasi penerimaan yang jauh dari target dan pemerintah juga tidak berniat mengurangi dana belanja.

Likuiditas global

Kepala Ekonom BII Juniman berpendapat dalam pencarian utang baru, sebaiknya pemerintah tidak hanya mengandalkan satu atau dua institusi tertentu. Ini untuk menghindari ketergantungan terhadap suatu lembaga tertentu, yang pada akhirnya bisa menekan Indonesia. Pemerintah disarankan mengeluarkan berbagai macam instrumen.

Juniman menganjurkan pemerintah menerbitkan kembali global bond, baik dalam mata uang dollar Amerika Serikat (AS), euro atau yen Jepang. Soalnya, saat ini likuiditas di pasar global sedang banyak dengan stimulus dari Eropa dan Jepang. "Likuiditas yang berlimpah harus dimanfaatkan," terang Juniman.

Kalaupun pemerintah ingin mencari pinjaman luar negeri untuk membiayai program atau proyek infrastruktur maka harus dipastikan proyek tersebut harus jalan. Jangan sampai menarik pinjaman yang baru, namun dana dari pinjaman tersebut tidak bisa dicairkan karena programnya belum jalan.

Pinjaman juga harus disinkronkan dengan proyek yang dicanangkan pemerintah. Kalau proyek pemerintah dalam dollar, utang yang diambil hendaknya dalam dollar. Kalau dalam yen, utang yang diambil pun dalam mata uang yen. "Selisih kurs harus diatur agar tidak membebani anggaran," ujar Juniman.        

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie