KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masalah gagal bayar masih membayangi
fintech peer to peer (P2P)
lending. Celakanya, masalah gagal bayar tak cuma akan berefek pada
fintech lending yang bersangkutan. Sadar bahwa efek dari gagal bayar bisa menyebar kemana-mana, regulator pun makin memagari sejumlah pihak yang bersinggungan dengan
fintech lending. Salah satunya adalah sektor perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menyoroti sektor perbankan yang turut menjadi pendana atau
lender di
fintech lending. Pasalnya, tren gagal bayar di sejumlah
fintech lending bisa berdampak pada perbankan sebagai
lender. Apalagi, beberapa bank, mayoritas bank digital juga menyalurkan kredit kepada
fintech melalui skema
channeling.
Baca Juga: Hindari Tersangkut Gagal Bayar, OJK Minta Kredit Bank ke Fintech Lending Tak Dominan Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, per Desember 2023, pinjaman yang diberikan perbankan melalui
fintech P2P Lending telah mencapai Rp 30,35 triliun dari total pinjaman yang diberikan
lender dalam negeri yang senilai Rp 49,3 triliun. Pinjaman dari perbankan tersebut meningkat 45,56% secara tahunan (YoY). Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengingatkan agar bank-bank ini tidak ceroboh dalam menyalurkan kredit. Terutama, jika kredit itu disalurkan melalui pihak ketiga. Dian menyadari saat ini memang ada beberapa bank yang dominasi portofolio kreditnya melalui skema
channeling dengan
fintech. Oleh karenanya, OJK telah mengirim surat edaran agar bank-bank ini me-
review lagi kerja sama kredit dalam hal ini dengan
fintech. “Sekarang masih sifatnya surat edaran ya, kalau nanti dibutuhkan aturannya ya bisa saja dibuatkan (pembatasan),” ujar Dian. Dian bilang saat ini OJK selalu siap memberikan tindakan tegas apabila ada bank yang memiliki konsentrasi eksposur pada bisnis
fintech yang tinggi namun tidak
prudent. “Ya harus ingat kalau mereka itu bukan
fintech tapi bank jadi penyaluran kreditnya jangan
reckless,” tambahnya. Seperti diketahui, saat ini ada beberapa bank digital yang memang mayoritas penyaluran kreditnya melalui
fintech. Sebut saja, PT Bank Jago Tbk (ARTO) yang mayoritas melalui ekosistem GOTO.
Baca Juga: Pemerintah Kumpulkan Rp 71,72 Miliar dari Pajak Fintech dan Kripto pada Januari Head of Sustainabilty & Digital Lending Bank Jago Andy Djiwandono mengungkapkan bahwa Bank Jago didirikan sebagai bank berbasis teknologi yang dirancang khusus untuk tertanam dalam ekosistem digital. Alhasil, Bank Jago menyalurkan kredit melalui kolaborasi dengan ekosistem dan platform digital, seperti
fintech, perusahaan pembiayaan maupun lembaga keuangan lainnya. “Bank Jago tentu mengukur risiko-risiko dalam memilih atau menyeleksi mitra pembiayaan secara berkala,” ujar Andy. Andy percaya melalui skema kolaborasi tersebut merupakan cara efektif untuk menyalurkan kredit secara lebih luas ke nasabah. Sebagai informasi, berdasarkan laporan bulanan November 2023, total kredit Bank Jago telah mencapai Rp 12,68 triliun. Angka ini naik dari periode sama sebelumnya senilai Rp 8,73 triliun. Sementara itu, ada juga PT Bank Amar Indonesia Tbk yang memang beberapa kali melakukan kredit melalui skema
channeling. Salah satunya melalui Investree yang saat ini sedang dilanda gagal bayar. Meski demikian, Direktur Korporasi, Komersial dan Operasional PT Bank Amar Indonesia Tbk Eka Banyuaji mengungkapkan bahwa saat ini menegaskan sudah tidak ada lagi
channeling dengan Investree dan fokus pada penyediaan layanan keuangan digital.
Baca Juga: Masalah Gagal Bayar Tak Kunjung Usai, Lender iGrow Hanya Dicicil dengan Nominal Mini “Sekarang kegiatan operasional kami berjalan seperti biasa dan berhentinya
channeling dengan Investree tidak memiliki pengaruh pada kinerja,” ujarnya Masalah gagal bayar
fintech lending belakangan ini memang menjadi sorotan. Bahkan, sejumlah platform tercatat memiliki kredit macet di atas 5%, seperti Investree, TaniFund, hingga iGrow. Mengenai permasalahan gagal bayar, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan masalah utamanya adalah sistem penggunaan
credit scoring yang saat ini belum optimal. "
Credit scoring saat ini hanya berfokus pada kecepatan analisis, bukan ke kualitas pinjamannya," ucapnya kepada Kontan, Kamis (22/2). Oleh karena itu, Nailul menerangkan perlu diubah juga peraturan maupun teknologi yang digunakan untuk melakukan
credit scoring. Misalnya, kata dia, dengan menambahkan data perbankan sebagai data pembanding untuk
credit scoring-nya. Selain itu, bisa juga menambahkan data-data lain yang mampu melihat kemampuan bayar calon
borrower. Menurut Nailul, OJK harus turun tangan mengubah regulasi terkait sistem
credit scoring, terutama dalam pemanfaatan data perbankan. "Sepertinya, belum diberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk mengakses data perbankan melalui pihak ketiga," kata Nailul. Sebagai informasi, Otoritas Jasa Keuangan mencatat tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90)
fintech P2P lending dalam kondisi terjaga di posisi 2,93% per Desember 2023. Angka itu bisa dibilang naik sebanyak 0,12%, jika dibandingkan posisi TWP90 per November 2023 yang sebesar 2,81%. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menilai, penyebab gagal bayar bisa multifaktorial dan dapat melibatkan berbagai aspek.
Baca Juga: OJK Telah Bertemu Dengan Fintech Lending yang Salurkan Pinjaman di Bidang Pendidikan "Salah satunya perilaku peminjam, regulasi, atau model bisnis dari platform
fintech P2P lending itu sendiri," ucap Sekretaris Jenderal AFPI Tiar Karbala kepada Kontan, Rabu (21/2). Atas dasar itu, Tiar menyampaikan AFPI mempertimbangkan langkah-langkah untuk meningkatkan pengawasan, memberikan edukasi keuangan kepada peminjam, dan terus menyempurnakan proses persyaratan peminjaman.
Dia tak memungkiri kondisi ekonomi, pendapatan, dan pemahaman tentang tanggung jawab keuangan juga memengaruhi kesehatan pinjaman. Untuk menekan masalah gagal bayar ke depannya, Tiar mengatakan AFPI akan terus melakukan kampanye edukasi yang lebih luas dan mengadvokasi perlunya literasi keuangan yang lebih baik, terutama di kalangan generasi muda. Dengan demikian, kata dia, pemanfaatan layanan
fintech P2P lending dapat terus ditingkatkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi