Jaga harga, pengusaha minta pemerintah kendalikan produksi dan ekspor batubara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi produksi batubara sepanjang tahun 2018 mencapai 528 juta ton. Jumlah itu melebihi target dalam Rencana Kerja Anggaran dan Biaya (RKAB) tahun 2018 sebesar 485 juta ton, maupun proyeksi total sebesar 506,9 juta ton setelah pemerintah membuka tambahan kuota produksi sebanyak 21,9 juta ton pada September 2018.

Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu P. Sjahrir mengingatkan pemerintah supaya bisa mengendalikan produksi dan ekspor batubara. Sebab, ia menilai tren penurunan harga yang menekan industri batubara dalam beberapa bulan terakhir terjadi karena Indonesia memiliki pasokan batubara yang berlebih, tapi di sisi lain, China sebagai pasar ekspor terbesar, tengah membatasi impor batubara ke negaranya.

Sehingga, kata Pandu, seharusnya pemerintah bisa mengontrol produksi dan pasokan ke pasar ekspor, supaya tidak terjadi over supply. "Itu sebenarnya malah ada efek negatif ke kita (adanya tambahan produksi). Memang sebaiknya kita tidak produksi sebanyak sekarang (528 juta ton, realisasi produksi 2018). Seharusnya di bawah itu, total cukup maksimal 500 juta ton," ungkap Pandu.

Pandu juga menilai bahwa kondisi saat ini, dimana harga dan pasar ekspor tengah tak menentu, bisa menjadi momentum untuk mengembangkan pasar batubara dalam negeri. Lantas, ia pun mengajak pelaku usaha batubara untuk bisa memprioritaskan pasar domestik, agar mengontrol supply ke pasar ekspor.

"Jadi kalau mau produksi, kita prioritaskan pasar domestik. Karena kita sudah pemain global, kayak China, harus bisa kontrol produksi dan supply," ujar Pandu.

Kendati demikian, Pandu mengatakan bahwa faktor kepastian harga untuk pasokan Domestic Market Obligation (DMO) yang dipatok US$ 70 per ton juga harus diperhatikan. Apalagi, serapan batubara domestik masih sangat tergantung pada kebutuhan kelistrikan PLN.

"Butuh waktu, harus dibangun. Perkiraan kita masih makan sekitar dua-tiga tahun lagi untuk bisa sampai 140-150 juta ton (serapan domestik)," ungkapnya.

Pandu memproyeksikan, dalam keadaan pasar seperti ini dan dengan supply yang berlebih, harga batubara akan terus tertekan pada permulaan tahun ini. Asal tahu saja, harga batubara acuan (HBA) Januari kembali turun tipis menjadi US$ 92,41 per ton dibandingkan HBA bulan Desember 2018 yang sebesar US$ 92,51 per ton.

HBA tercatat terus mengalami penurunan dalam enam bulan terakhir. Pada Agustus 2018 nilai HAA US$ 107,83 per ton, kemudian turun pada September menjadi US$ 104,81 per ton, terus turun pada Oktober menjadi US$ 100,89 per ton, tren berlanjut pada November US$ 97,90 per ton, dan Desember US$ US$ 92,51 per ton.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia menambahkan, faktor China masih menjadi penentu harga batubara. Hendra mengatakan, harga batubara sulit diprediksi karena faktor eksternal tidak mudah untuk diantisipasi.

Menurut prediksi Hendra, tren penurunan ini tetap akan terjadi pada bulan Februari, mengingat masih adanya dampak dari lesunya perdagangan di liburan tahun baru China. Lalu, harga diperkirakan baru bisa mengalami peningkatan pada bulan Maret.

"Jadi kemungkinan rebound lagi Maret. tapi ini hanya proyeksi," kata Hendra.

Hanya saja, menurut Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif, prospek bisnis batubara pada tahun ini masih tetap membara. Ia menilai, proyeksi bisnisnya tak akan jauh beda dari tahun 2018, karena meski tertekan, namun pasar batubara kalori rendah masih ada kebutuhan untuk PLTU di sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia.

Apalagi, jika pembangunan PLTU di dalam program 35.000 MW lancar, maka kebutuhan batubara domestik pada tahun ini diproyeksikan bisa mencapai 120 juta ton. Namun, ia menekankan bahwa hilirisasi atau peningkatan nilai tambah harus cepat direalisasikan guna menambah serapan batubara domestik.

"Pasar batubara dalam negeri 90% dari PLTU Batubara. Bila pembangunannya berjalan lancar, masih akan ada peluang pertambahan pasar. Harapan kita agar harga batubara ini tidak menurun, proses nilai tambah jangan berjalan lambat," tandasnya.

Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Aryono, realisasi yang melampaui target produksi RKAB maupun setelah ditambah kuota tambahan terjadi karena produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) daerah meningkat.

"Dari IUP daerah ternyata ada peningkatan dari yang kita targetkan. Desember baru masuk (data produksi) dari daerah," kata Bambang dalam paparan capaian sektor energi tahun 2018 di Kantor Kementerian ESDM, akhir pekan lalu.

Pada tahun 2019, Bambang menyebut target produksi batubara nasional tidak akan jauh dari RKAB tahun 2018, yakni sekitar 480 juta ton. Namun, lanjut Bambang, jumlah itu masih bisa meningkat, sebab RKAB masih belum disepakati dan akan selesai pada akhir Januari nanti.

Bambang mengatakan, ada sejumlah alasan mengapa pihaknya mempertahankan target produksi di kisaran 480 juta ton. Salah satunya ialah untuk menjaga harga di pasar batubara supaya tak terus menukik akibat pasokan yang berlebih.

"Ya supaya harga bisa bagus, salah satunya itu," ujar Bambang saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Senin (7/1).

Sayangnya, Bambang tak bisa memastikan apakah di tahun ini pemerintah akan kembali membuka kran penbambahan kuota produksi untuk menggenjot ekspor, atau tidak. Untuk menambah produksi, kata Bambang, pihaknya mempertimbangkan sejumlah faktor, seperti penerimaan negara dan kebutuhan domestik.

Selain itu, pada pertengahan tahun nanti, perusahaan bisa mengajukan revisi RKAB, sehingga perubahan target produksi masih sangat mungkin terjadi. "Biasanya perusahaan mengajukan revisi itu paling lambat Juli, nanti kita lihat. Semua serba mungkin (tambahan produksi)," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi