Jaga Keberlanjutan Pembiayaan JKN, BPJS Watch: Kenaikan Iuran Jadi Keniscayaan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2024 terdapat potensi selisih biaya pembayaran klaim dengan pendapatan iuran BPJS Kesehatan. Selisih tersebut yang kemudian akan ditutup dari dana jaminan sosial (DJS) kesehatan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan paling lambat dilakukan setiap dua tahun. Di mana kenaikan iuran terakhir terjadi pada tahun 2020 lalu. Oleh karenanya, Timboel berharap setelah pemilu 2024 pemerintah dapat kembali melakukan penyesuaian iuran peserta BPJS Kesehatan. 

Menurutnya, kenaikan iuran diperlukan lantaran adanya manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertambah, serta kenaikan kapitasi dan INACBGs. 


Kemudian ditambah perawatan pasien Covid-19 di masa endemi yang juga ditanggung oleh JKN, vaksinasi Covid-19 bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga ditanggung BPJS Kesehatan. 

Baca Juga: Kondisi Keuangan BPJS Kesehatan Sehat, Dewas Ingatkan Potensi Defisit di 2024

Apabila pembiayaan dari JKN terus meningkat namun tidak disertai dengan pendapatan yang meningkat akan menyebabkan potensi defisit. 

"Menurut saya iuran kenisyacaan perlu dinaikkan secara yuridis dan secara finansial hitungan. Kalau boleh 2024 pasca pemilu kayak 2019," jelas Timboel ditemui di Kaleidoskop SJSN di Kemenko Bidang PMK, Kamis (11/1).

Namun Timboel menjelaskan, kapan kenaikan diperlukan harus memperhitungkan seberapa lama ketahanan aset bersih BPJS Kesehatan untuk menutup selisih pembayaran klaim. Per Desember 2023 BPJS Kesehatan memiliki aset bersih (netto) yakni DJS sebesar Rp 57,7 triliun. 

"Kalau misal Rp 57 triliun dihitung tidak mampu buat 2024 ya segera diperhitungkan naik iuran. Tapi kalau masih bisa nahan sampai 2025 ya paling lambat 2025 harus naik iuran," jelas Timboel.

Timboel mengatakan urgensi kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan kembali harus melihat bagaimana perhitungan antara pendapatan iuran, klaim dan ketahanan dari aset bersih. 

"Misal dari Rp 57 triliun diambil Rp 30 triliun tinggal Rp 27 triliun, masih dianggap sehat masih di atas 1 bulan lebih. Memang tentunya masih disebut sehat, tapi 2025 dia terancam. Karena iuran tidak naik kemudian aset bersihnya turun," kata Timboel. 

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan biasanya dilakukan melalui usulan dari DJSN. Sebagai informasi terdapat tiga intervensi kendali biaya BPJS Kesehatan. Diantaranya, kenaikan iuran, suntikan pemerintah dan kendali manfaat. 

Baca Juga: Rekrutmen BPJS Kesehatan 2024 Dibuka, MInimal Lulusan D3 Semua Jurusan Bisa Daftar

Ia menyebut dari tiga aspek tersebut, kenaikan iuran menjadi yang paling efektif. Hal tersebut lantaran masih ada potensi pendapatan iuran dari peserta pekerja penerima upah (PPU) dan peserta bukan penerima upah (PBPU). 

"Karena potensi PPU masih banyak dan BPU juga. Hanya PBPU ini banyak yang nunggak. Saya harapkan yang nunggak ini ada diskon agar uang iuran bisa masuk jadi pendapatan real. Udah potong kompas aja diskon tunggakan, tapi mulai bayar iuran lagi dan jadi pendapatan real," jelasnya. 

Lebih lanjut, ia menyebut pemerintah harus patuh pada regulasi termasuk kebijakan penyesuaian iuran. Pemerintah juga harus menjamin JKN berkelanjutan dgn memastikan pembiayaan JKN tidak defisit. Untuk memastikan kelanjutan pembiayaan dilakukan dengan cara peningkatan pendapatan iuran dan efektifitas pembiayaan, seperti menurunkan tingkat fraud yang dilakukan faskes. 

Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menjelaskan, kondisi keuangan BPJS Kesehatan sesuai dengan ketentuan. Adapun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015, aset DJS dikatakan sehat jika mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk sedikitnya 1,5 bulan ke depan, atau paling banyak 6 bulan ke depan. 

"Keuangan kita masih cukup untuk 4,36 bulan estimasi klaim. Artinya kita sehat. Jadi masih sehat. Masih okelah," kata Ghufron.

Kendati demikian, Ghufron mengatakan pihaknya sudah menyiapkan strategi ke depan guna menjaga keberlanjutan pembiayaan JKN. BPJS Kesehatan sendiri sudah mulai melakukan penghitungan untuk kendali biaya dengan tetap menjaga akses layanan. 

Namun Ghufron mengatakan kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan menjadi kewenangan dari Presiden. Sedangkan pemilihan presiden selanjutnya baru dilakukan Februari mendatang. 

Ghufron mengatakan, berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Tahunan BPJS Kesehatan tahun 2024 biaya manfaat termasuk promotif preventif diproyeksi Rp 176,8 triliun sedangkan penerimaan iuran diproyeksi Rp 157,8 triliun. Maka ada selisih biaya atau defisit tahun berjalan yang kemungkinan akan ditambal dari aset bersih. 

"Kemungkinan upama ada defisit sedikit di akhir 2024," imbuh Ghufron.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Agus Suprapto mengatakan sampai hari ini belum ada perhitungan pasti penyesuaian iuran. Pasalnya sampai hari ini kondisi keuangan BPJS Kesehatan masih tergolong sehat. 

"Likuiditas untuk jaminan kesehatan masih mumpuni hingga 4 sampai 5 bulan ke depan. Kan aturannya sampai 6 bulan," kata Agus. 

Namun, Agus tak menampik jika memang ada risiko defisit. Hal tersebut berkaca pada semakin banyak orang dengan penyakit katastropik dan semakin banyak RS bermitra dengan BPJS Kesehatan. 

"Jadi ada risiko itu (defisit) tapi semoga ini ngga jadi kecemasan. Peserta non aktif bisa segera aktif lagi dengan iuran kan menjamin keberlanjutan," jelas Agus. 

Walaupun demikian masyarakat diharapkan dapat menjaga kesehatan agar yang betul-betul membutuhkan layanan JKN bisa terlayani dengan baik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi