JAKARTA. Pengetatan likuiditas membayangi kinerja perbankan menyusul akan dinaikkannya suku bunga bank sentral Amerika Serikat, The Fed Fund Rate. Rencananya The Federal Reserve akan mengerek bunga acuan September mendatang. Sementara realisasi pembangunan infrastruktur pada paruh kedua tahun ini membutuhkan ketersediaan dana perbankan dalam jumlah jumbo. Maklumlah, hingga saat ini perbankan masih menjadi primadona dalam penyaluran pembiayaan nasional yang turut menunjang pertumbuhan ekonomi. Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk, Achmad Baiquni mengatakan, pengetatan likuiditas yang akan membayangi perbankan pasca kenaikan tingkat suku bunga bank sentral AS tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
Sebab, dana asing dari AS dinilai masih akan parkir di sejumlah negara yang memberikan return relatif tinggi dan memberikan keamanan. "Kalau saya tidak terlalu khawatir, andai The Fed Fund Rate naik. Karena memang akan ada gejolak, tapi kemungkinan itu sifatnya juga tidak permanen," kata Baiquni kepada KONTAN, Minggu (9/8). Sebagai antisipasi, bank dengan kode emiten BBNI ini masih mengandalkan penghimpunan DPK sebagai langkah pencegahan dari kekeringan likuiditas. Baiquni bilang, perseroan masih mengandalkan pertumbuhan dana murah alias current account and saving account (CASA) untuk menunjang penyaluran pertumbuhan kredit. Namun bila belum cukup, BNI akan meningkatkan perolehan dana mahal atawa deposito pada rasio DPK. "Kalau memang terpaksa, kami akan tingkatkan DPK dari sisi deposito. Untuk sekarang ini deposito memang kami batasi pertumbuhannya, karena kami menginginkan pertumbuhan CASA yang maksimal, supaya cost of fund atau biaya dana rendah," jelas Baiquni. Selain itu, bank berlogo 46 ini juga sudah menyiapkan strategi pamungkas dalam menghadapi pengetatan likuiditas, yakni dengan menerbitkan surat berharga. Baiquni bilang, ini adalah langkah terakhir yang akan ditempuh perseroan untuk meningkatkan pendanaan perbankan. Ia bilang, BNI telah memasukkan rencana penerbitan surat utang dalam rencana bisnis bank (RBB) yang telah diserahkan kepada regulator yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).