Jalan buntu penyediaan barang publik



Baru-baru ini muncul berita tentang perselisihan antara DKI Jakarta dengan Kota Bekasi, permasalahan yang terhitung sudah usang tetapi terulang lagi. Hal ini seharusnya menyadarkan kita bahwa terdapat masalah mendasar tetang kesenjangan antar daerah.

DKI Jakarta begitu digdaya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2018 sebesar Rp 77 triliun. Sementara itu, delapan daerah penyangga Jakarta (Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Depok), jika dijumlahkan hanya memiliki anggaran sebesar Rp 32 triliun. Kedelapan pemerintah daerah itu memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk melebihi DKI Jakarta.

Proses desentralisasi kekuasaan, yang sudah berlangsung dua dekade, masih menunjukkan beberapa hal yang perlu diwaspadai, terutama dalam hal pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh kabupaten/kota. Hampir seluruhnya masih belum dapat mewujudkan kemandirian daerah.


Kapasitas pemungutan pajak daerah oleh kabupaten/kota hanya mampu memenuhi sekitar 10% pengeluarannya. Bahkan kontribusi pajak daerah dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) terus mengalami penurunan, dari 80% menjadi sekitar 60%. Kabupaten/kota masih mengandalkan transfer dana perimbangan, baik itu dari pemerintah pusat maupun provinsi.

Dengan demikian, telah terjadi fenomena flypaper effect di Indonesia, yaitu suatu kondisi ketika pemerintah daerah melakukan belanja daerahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendapatan asli daerah. Sementara itu, pendapatan, yang sebagian besar berasal dari transfer pemerintah pusat atau provinsi, akan berujung kepada pemborosan belanja.

Defisit hampir terjadi di seluruh pemerintah daerah, misalnya belakangan yang dialami pemerintah kota Bekasi dengan perkiraan defisit mencapai Rp 800 miliar. Oleh sebab itu, solusi jangka pendek untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melirik tetangga kaya, DKI Jakarta.

Pemekaran wilayah merupakan keputusan politik yang bisa menjadi sulit untuk mewujudkan pembangunan terintegrasi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Charles Tiebout, dalam artikelnya A Pure Theory of Local Expenditures, memperkirakan, orang akan melakukan mobilitas dengan memilih pemerintah daerah yang mampu menyediakan barang publik yang optimal. Akan tetapi, perkembangan metropolitan membuat ada kecenderungan orang akan bermukim di sekitar kota besar. Dalam jangka waktu lebih dari tiga dekade, lokasi penduduk pun juga menyebar dan tuntutan penyediaan barang publik juga dihadapi oleh pemerintah daerah penyangga Jakarta.

Sejak tahun 1977, pemerintah telah mempersiapkan pembangunan dan peruntukan wilayah di Jabodetabek. Aktivitas pemerintahan dan bisnis tetap dikonsentrasikan di Jakarta. Untuk industri, pengembangan dikonsentrasikan di kabupaten Bekasi dan kabupaten Tangerang. Sedangkan pemukiman, pengembang besar banyak membangun kota-kota satelit (kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Depok) yang dilengkapi dengan sarana pendukung kota seperti sekolah, pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan tempat hiburan.

Karena kawasan Jabodetabek semakin padat, maka pembangunannya semakin intensif dengan pencanangan metropolitan priority area (MPA) sejak tahun 2014. Tujuannya meningkatkan kualitas hidup penduduk agar mendapatkan pelayanan terhadap barang publik yang lebih baik. Selain itu, mereka juga perlu hidup serasi dengan lingkungan, termasuk kawasan industri yang bertumbuh di sekitarnya.

Tugas untuk memenuhi kebutuhan publik dan pengawasan lingkungan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Akan tetapi, melihat realitas perkembangan yang terjadi belakangan terlihat bahwa telah terjadi persaingan politik dan ekonomi yang mengarah ke jalan buntu.

Penyediaan barang publik

Secara administratif, Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok di bawah provinsi Jawa Barat. Sedangkan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan di bawah provinsi Banten. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki kewajiban legal untuk membina, tetapi lebih merupakan masalah etika dan diskresi Kepala Daerah.

Kapasitas penyediaan barang publik oleh pemerintah daerah tidak dapat dilepaskan dari kekuatan APBD daerah tersebut. Permasalahan utama adalah DKI Jakarta memiliki kapasitas yang sangat besar dengan kemampuan menghimpun APBD sebesar Rp 45 triliun dan dana perimbangan sebesar Rp 21 triliun. Dana Perimbangan yang diterima DKI Jakarta sebesar Rp 18 triliun merupakan bagi hasil pajak penghasilan (PPh) perorangan yang disetorkan oleh pemberi kerja yang berlokasi di Jakarta.

Dalam sistem administrasi perpajakan yang berlaku di Indonesia, maka pembayar kerja lah yang memotong pajak atas penghasilan yang diterima karyawan. Jadi, meskipun bermukim dan menjadi penduduk kota penyangga, terdapat kemungkinan bahwa dia justru membayar pajak di Jakarta. Pajak Penghasilan inilah yang akan dibagihasilkan kepada DKI Jakarta.

Terdapat kurang lebih 5 juta orang yang bermukim di daerah penyangga tetapi bekerja dan membayar pajak di DKI Jakarta. Sementara itu, pemerintah daerah penyangga memiliki kewajiban untuk menyediakan barang publik bagi seluruh keluarga. Di sinilah terdapat kesenjangan terkait dengan kapasitas daerah tersebut.

Jumlah dana perimbangan yang diterima oleh daerah penyangga tersebut berjumlah sekitar Rp 13 triliun, lebih kecil dibandingkan yang diterima oleh DKI Jakarta. Jika terkait masalah pembagian dana perimbangan,  kemungkinan akan menemui jalan buntu. Dibutuhkan kesadaran seluruh kepala daerah dan koordinasi pemerintah pusat yang kuat untuk mengatasi masalah ini.•

Benny Gunawan Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN, Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi