Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit ke hulu bersenang-senang kemudian. Pepatah ini sungguh sesuai menggambarkan perjalanan karier Agung Adiprasetyo, Chief Executive Officer (CEO) Kompas Gramedia. Berawal dari seorang staf di bagian keuangan Kompas Gramedia, lelaki kelahiran Semarang, Jawa Tengah, ini sekarang menduduki posisi puncak di Grup Kompas Gramedia. Ia menggantikan jabatan yang ditinggalkan sang pendiri grup usaha ini, Jakob Oetama. Posisi itu tak diperolehnya dengan mudah. Agung bukan kerabat atau keluarga Jakob Oetama. "Saya murni profesional," ujarnya. Jabatan strategis ini merupakan buah kerja kerasnya selama puluhan tahun.
Agung bergabung dengan Kompas Gramedia pada tahun 1981. Sebelum berlabuh di Kompas Gramedia, ia sempat bekerja di sebuah perusahaan di Semarang bernama PT Gunung Sumber Murni. Ini adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Kala itu ia baru saja lulus kuliah. Kariernya di perusahaan ini hanya bertahan tujuh bulan saja. Ia memutuskan keluar setelah membaca iklan lowongan kerja di Harian Kompas. Agung mengirimkan surat lamaran kerja ke Kompas. "Walau belum ada kepastian akan dipanggil, saya langsung berhenti kerja dari perusahaan lama," cerita Agung. Gayung bersambut, kata berjawab. Tak lama, ia mendapat panggilan dari Kompas. Namun, panggilan itu bukan sebagai karyawan. Ia dipanggil untuk mengikuti pendidikan dan pengembangan manajemen (PPM) yang diadakan Kompas Gramedia (KG). Beruntung, ia diterima magang di divisi keuangan KG tahun 1981, selepas mengikuti pendidikan tersebut. Selang setahun, ia diangkat menjadi karyawan tetap. "Saya tetap di divisi keuangan untuk mengurusi anggaran keuangan perusahaan," ucapnya. Selama berkarier di bagian keuangan, ia pernah menangani keuangan hotel yang dikelola KG di Semarang. "Saya diminta mengurusi keuangan hotel yang saat ini bernama Hotel Santika di Semarang," kenang Agung. Ketika tugasnya di Semarang selesai, Agung diminta kembali ke Jakarta oleh pimpinan perusahaan ini, Jakob Oetama. Namun, sebagai anak muda, Agung merasa belum puas. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru. "Saya berpikir, dengan ditarik lagi ke Jakarta tidak mungkin lagi untuk mengurus keuangan," ujar Agung. Rupanya, Jakob sudah memiliki perhitungan tersendiri. Dia menawarinya dua posisi di bagian iklan dan sirkulasi. Menyambut tawaran itu, Agung memilih bergabung di bagian sirkulasi. "Tapi itulah Pak Jakob yang selalu sistematis mempersiapkan seseorang. Beliau menawarkan keduanya. Ketika saya memilih di bagian sirkulasi, malah disuruh di iklan," kisahnya. Agung pun mulai bergabung di divisi iklan pada 1984. Kendati bidang baru, ia menikmati pekerjaan itu. Bahkan, ia juga kerap membantu menstempel koran bukti iklan. Kariernya di divisi iklan melesat ketika menjabat Wakil Kepala Bagian Iklan pada tahun 1991. Sebagai wakil, ia berimprovisasi dengan berbagai terobosan. Salah satunya dengan membuat iklan advertorial. Agung mengisahkan, pada era Orde Baru, ada aturan iklan koran hanya boleh 35% dari seluruh halaman koran. "Setiap bulan, Kompas menerima teguran karena iklannya melebihi kuota. Tapi ada iklan yang tak ditegur yaitu advertorial," kata Agung. Saat itu di Kompas belum dikenal istilah iklan advertorial. Padahal, potensi iklan ini sangat besar. Ia pun menyampaikan pentingnya membentuk tim penggarap iklan advertorial. Namun, gagasannya tidak bersambut dengan persetujuan. Gagal meyakinkan para petinggi Kompas, ia lalu bekerja sendiri menggarap iklan advertorial yang usulkan. "Saya wawancara sendiri sumber yang mau pasang iklan, lalu saya tulis sendiri," ujarnya. Kebetulan kendati bukan wartawan, Agung memang hobi menulis. Selama bekerja di Kompas, ia mengaku banyak belajar menulis kepada wartawan senior di Kompas. Ketika menyerahkan laporan pendapatan iklan, pendapatan dari iklan advertorial garapannya mencuri perhatian. Pasalnya, ketika itu, iklan advertorial menyumbang pendapatan hingga Rp 780 juta per bulan. "Itu digarap sendiri, kalau digarap tim tentu lebih besar," ujarnya. Sejak itu, gagasannya tentang iklan advertorial resmi diakui. Selain menangani iklan, ia juga kerap diminta mengembangkan koran daerah. Kebetulan sekitar tahun 1995, Kompas Gramedia mulai mengembangkan koran daerah. Dia diutus oleh Jakob Oetama untuk membantu mengembangkan harian Sriwijaya Pos di Palembang, Sumatra Selatan. Kemudian di daerah-daerah lain seperti Yogyakarta. "Saat itu tidak ada jabatan, tidak seperti sekarang, paling, yang ada hanya kepala bagian," kata pria lulusan jurusan Bisnis IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta ini. Kariernya kembali naik ketika Kepala Bagian Iklan Kompas pensiun di tahun 1995. Ia lantas terpilih menggantikan posisinya. Dengan jabatan itu, wewenang yang dimilikinya semakin besar. Ia pun makin leluasa membuat terobosan di bidang periklanan Kompas. Salah satunya dengan membuat kontrak jangka panjang dengan para pengiklan di Harian Kompas. Kontrak-kontrak jangka panjang itu juga yang membuat Kompas selamat dari hantaman krisis ekonomi tahun 1998. Asal tahu saja, saat krisis, iklan sangat sepi karena banyak perusahaan merugi dan bangkrut. Tahun 2002, Agung kembali diminta menangani proyek baru, yakni Kompas TV yang ketika itu baru akan didirikan. Di Kompas TV, Agung menjabat pemimpin perusahaan. Ketika itu ia juga masih menjabat Kepala Bagian Iklan Kompas. Ia merasa tak nyaman merangkap jabatan karena tak ada kaderisasi. "Saya minta ke Pak Jakob agar saya fokus di TV saja," ujarnya. Menurut Agung, kurang elok seseorang menduduki beberapa jabatan karena hasilnya tak maksimal. Karier Agung di Kompas Gramedia mencapai puncaknya pada 2006 ketika ditunjuk sebagai CEO. Ia sendiri tak pernah membayangkan bisa duduk di posisi itu. "Saya ini bukan pemegang saham, bukan pemegang banyak award dan bukan orang terkenal seperti Jakob Oetama," ujarnya. Merasa mendapat kepercayaan yang begitu besar, ia pun termotivasi untuk bekerja lebih giat lagi dalam membesarkan perusahaan. Banyak keputusan-keputusan penting yang ia buat demi kemajuan perusahaan. Pengembangan sistem Aspek manajemen menjadi fokus utama yang dibenahi oleh Agung. Salah satunya dengan membuat sistem penilaian kinerja baru dengan menerapkan key performances indicators (KPI). Dengan adanya KPI, karyawan harus memiliki target dalam bekerja, sehingga value setiap karyawan dapat terlihat dan terukur dengan jelas. KPI ini juga menentukan kesejahteraan karyawan. "Kalau ingin sejahtera, harus punya nilai istimewa. Kalau punya nilai itu, satu tahun bisa mendapatkan enam kali gaji," terang Agung. Di tahun 2006, seluruh perusahaan yang tergabung dalam Kompas Gramedia sudah menerapkan sistem KPI. Sebelumnya, seluruh unit usaha di lingkungan Kompas Gramedia tidak memiliki KPI. Alhasil, penilaian kinerja karyawan dilihat dari sudut pandang yang kurang berdasar. "Sebelumnya kalau untuk naik gaji juga cuma ada rapat seperti rapat guru, menilai tak punya dasar. Dengan KPI yang sekarang, terlihat mana yang memiliki value dalam bekerja," ucapnya. Khusus untuk wartawan, Kompas menggelar ujian kompetensi bagi wartawan yang akan naik jabatan. Di bawah kepemimpinannya, ia juga membuat road map untuk melihat kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Melalui road map itu pula unit-unit usaha diharuskan memiliki target bisnis yang harus dicapai dalam periode waktu tertentu. "Sampai hari ini perusahaan yang tergabung di Kompas Gramedia semua sudah punya road map," ujarnya. Demi efisiensi bisnis, banyak juga unit usaha yang sudah tidak menguntungkan ditutup atau dimerger dengan unit usaha lainnya. Agung selalu menargetkan, setiap unit usaha harus ada di nomor satu atau dua dalam persaingan bisnis dengan kompetitor. Menurutnya, tidak ada tempat bagi nomor tiga ke bawah. "Semua perusahaan yang belum juga naik, akan saya awasi. Bila tidak berkembang akan saya tutup," tegasnya.
Saat ini, Kompas Gramedia memiliki sekitar 74 anak usaha mulai dari surat kabar, toko buku, majalah, penerbitan, hotel, radio, televisi hingga pabrik tisu. Dari jumlah itu, anak usaha yang masih sehat sekitar 85%-nya. Sadar bahwa core bisnis perusahaan yang dia kelola adalah media, Agung terus berusaha mempertahankan Kompas sebagai yang terdepan. Hal itu penting di tengah ketatnya persaingan bisnis media. Sebagai media independen dan tak dikuasai kepentingan politik, pengaruh Kompas cukup kuat. Kendati banyak kemajuan yang telah dicapai selama kariernya, ia mengaku belum puas atas kinerjanya. Agung berencana akan tetap giat bekerja demi hasil yang lebih baik lagi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri