Jalan lain jika sulit merevisi ACFTA



JAKARTA. Gempuran produk China ke pasar lokal bak pukulan telak buat pemerintah. Tak heran bila pemerintah mulai mencari cara agar pelaksanaan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) tak merugikan Indonesia.

Selain kebijakan safeguard, pemerintah juga menjajaki kemungkinan mengajukan revisi perjanjian perdagangan bebas itu. Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, ada beberapa yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah. Pertama, pemerintah tak ingin defisit perdagangan dengan China kian melebar.

Kedua, tak boleh ada industri dalam negeri yang terpukul dengan pelaksanaan ACFTA. "Kalau tidak terjadi balance of trade maka harus ada pembahasan kembali. Kita harus duduk sama-sama membicarkan itu agar menjadi balance," ujar Hatta, kemarin (11/4).


Toh begitu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan pemerintah masih berkomitmen menjalankan ACFTA. Lagi pula, pemerintah sudah mempunyai kesepakatan dengan China supaya menjaga hubungan perdagangan kedua negara tetap seimbang.

Kesepakatan agar menjalin hubungan dagang yang seimbang ini, kata Mari, tercantum dalam perjanjian bilateral tambahan dengan China yang disepakati di Yogyakarta, tahun lalu.

Senada dengan Mari, Sekretaris Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Syahrial Loetan mengatakan bukan perkara gampang merevisi kesepakatan dalam ACFTA. Sebab ACFTA tersebut merupakan kesepakatan perdagangan bebas jangka panjang yang telah disetujui beberapa negara. "Apakah kita akan mengubah kesepakatan lama yang sudah kita teken sendiri? Itu sulit,” tuturnya.

Karena itu, yang seharusnya dilakukan adalah mengejar ketinggalan terutama soal efisiensi dan inovasi. "Lihat, kenapa China bisa menjual barang dengan murah, kenapa kita tidak bisa seperti itu," kata Syahrial.

Mari menimpali, Kementerian Perdagangan telah menyiapkan berbagai upaya guna melindungi industri lokal dari dominasi produk China. Misalnya saja, pengamanan perdagangan (safeguard), kebijakan anti-dumping, labelisasi produk berbahasa Indonesia dan pengamanan perdagangan lain. Cuma masalahnya, apakah kebijakan itu sudah cukup? Kita buktikan saja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini