Jangan bergantung ke dollar AS



Sebagai importir, saya melihat penguatan dollar Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini tentu berdampak besar bagi dunia bisnis. Sebab, transaksi dominan dilakukan memakai dollar AS, sementara penjualan di dalam negeri tetap memakai rupiah.

Dampak yang dirasakan para importir tentu berbeda-beda, tergantung kelasnya. Bagi importir berskala besar, mungkin bisa menyiasatinya dengan lindung nilai (hedging). Namun pengusaha skala menengah atau kecil tentu tidak bisa menerapkan strategi serupa, karena memang sulit.

Saya melihat kecenderungan mindset-nya sekarang adalah mengendalikan impor. Kemudian menaikkan PPh beberapa produk konsumsi. Tapi di sisi lain, beberapa produk ekspor kita masih tergantung bahan baku impor. Soalnya substitusi bahan baku impor masih kecil nilainya, meskipun posisi TKDN cukup penting.


Dari sisi eksportir sendiri, sebenarnya ada beberapa pihak yang mengeluhkan kesulitan impor bahan baku. Sebab, banyak perizinan dan cenderung semakin ketat. Importir juga demikian. Sebenarnya impor tak mungkin di-stop, kami mau tak mau juga mentransfer kenaikan dengan penyesuaian harga kepada konsumen. Kami sebenarnya mencoba menahan kenaikan harga, meski tidak bisa.

Kami memang mengusulkan kepada pemerintah agar dapat menerapkan kebijakan bilateral agreement dengan beberapa negara, seperti Singapura. Kami mengusulkan agar transaksi menggunakan mata uang selain dollar AS. Misalnya, jika kita bertransaksi dengan China, tanpa menggunakan dollar AS, melainkan memakai mata uang negara tersebut.

Pemerintah juga harus segera mencari cara baru. Sebab, PPh Impor dan konversi DHE belum cukup. Solusi lain misalnya, mendorong penggunaan valas selain dollar AS untuk transaksi perdagangan.

Karena saat ini kita punya perjanjian currency swap agreement dengan China, Thailand dan Malaysia. Bila perlu, pemerintah menaikkan lagi harga BBM agar defisit CAD kita bisa lebih menurun.

Shinta Widjaja Kamdani Wakil Ketua Umum Apindo

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi