KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah kembali memundurkan batas waktu lelang wilayah kerja (WK) migas tahun ini. Jika batas waktu akses dokumen lelang hanya sampai 20 November 2017 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk memperpanjangnya sampai 23 Desember 2017. Sementara batas pengembalian dokumen lelang yang semula pada 27 November 2017 diperpanjang menjadi 31 Desember 2017. Alasan pemerintah memperpanjang waktu lelang karena menunggu keluarnya aturan perpajakan
gross split. Melihat fenomena itu, pengamat energi, Pri Agung Rakhmanto menyebut kondisi iklim investasi hulu migas belum juga membaik. Bahkan menurutnya iklim investasi migas semakin tidak kondusif sejak terbitnya aturan
gross split.
"Gross split menambah ketidakpastian yang ada sehingga membuat iklim investasi makin tidak kondusif. Tetapi gross split bukan penyebab tunggal tidak kondusifnya iklim investasi hulu migas. Suramnya iklim investasi hulu migas itu kan masalah sudah lama," jelas Pri Agung ke Kontan.co.id pada Rabu (22/11). Menurutnya, permasalahan inti yang membuat iklim hulu migas tidak kondusif adalah aturan main yang sering tidak pasti, dalam arti sering tidak sinkron dengan kontrak yang sudah ada. Ditambah dengan perizinan yang sangat banyak. Terlebih lagi dalam urusan lelang WK Migas, masalah data yang masih mentah juga jadi penghalang investasi masuk di sektor hulu migas. "Jadi seharusnya dari dulu ya pemerintah itu fokus saja di dalam membereskan kedua masalah itu. Jangan malah menambah permasalahan dengan menerbitkan aturan-aturan baru seperti
gross split ini. Praktis setidaknya satu tahun terakhir ini energi kita dihabiskan hanya untuk mengurusi dan membicarakan gross split, yang bukan hanya jelas-jelas bukan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada, tetapi justru menambah permasalahan yang ada dengan ketidakpastian yang ditimbulkannya," kata Pri Agung. Dampak dari adanya ketidakpastian terhadap iklim investasi migas tidak hanya tercermin dari lelang WK tahun ini. Tetapi menurut Pri Agung juga terlihat dari minimnya investasi eksplorasi migas. Berdasarkan dari SKK Migas, jumlah investasi hulu migas dari Januari 2017-September 2017 (year to date/YTD) yaitu sebesar US$ 6,74 miliar atau baru mencapai 54% dari target tahun ini. Investasi tersebut terdiri dari investasi untuk blok eksploitasi yang mencapai US$ 6,18 miliar. Sementara investasi untuk blok eksplorasi hanya sebesar US$ 560 juta.
"Indikator paling fair di dalam menilai tertarik tidaknya atau kondusif tidaknya iklim investasi adalah seberapa tertarik industri itu melakukan eksplorasi. Gross split, dalam hal ini, tidak cocok untuk blok eksplorasi, karena risiko dan ketidakpastiannya tinggi," terangnya. Makanya Pri Agung mengimbau pemerintah agar tidak memaksakan skema kontrak bagi hasil gross split menjadi kewajiban untuk diterapkan oleh KKKS. Justru pemerintah seharusnya bisa memberikan kebebasan bagi KKKS untuk memilih kontrak bagi haisl yang paling sesuai dengan lapangan migas yang dikelolanya. "Sejak awal sy katakan, fokus menyelesaikan masalah yang ada. Langkah konkret untuk meringkas perizinan, selesaikan aturan main - revisi UU migas. Kalau masalah bentuk kontrak, biarkan investor yang memilih. Kita tidak bisa memaksakan apakah itu PSC gross split ataukah PSC cost recovery dan lain-lain. Jangan dipaksakan dan disamaratakan semuanya. Jadikan beragam bentuk kontrak itu sebagai pilihan. Kesalahan di dalam hal penerapan gross split lainnya adalah ketika memaksakan agar semua blok menggunakan bentuk kontrak itu," jelas Pri Agung. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto