Jangan panik meski IHSG menukik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa saham masih belum lepas dari sentimen negatif. Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG ditutup melemah 0,69% jadi 6.210,67. Di awal perdagangan, IHSG bahkan sempat anjlok lebih dari 2%.

Investor asing juga masih terus cabut dari Indonesia. Sepanjang tahun ini, investor asing telah membukukan net sell Rp 21,04 triliun.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Tito Sulistio tak menampik IHSG terseret berbagai ketidakpastian global. "Terutama karena sentimen perang dagang AS," kata Tito, Jumat (23/3).


Kamis malam waktu Indonesia, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menandatangani moratorium penerapan tarif atas produk asal China. Aturan ini memang tak langsung berlaku. Cuma, pelaku pasar menilai perang dagang sudah dimulai.

Tito mengklaim, keluarnya dana asing di Indonesia sebenarnya tak sebesar yang terjadi negara-negara lain. Investor asing di Thailand misalnya, mencatatkan aksi jual US$ 1,74 miliar. Di Jepang, asing sudah mencatatkan net sell US$ 18,04 miliar.

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, menuturkan, investor asing lebih memilih memegang kas saat ini. "Hal ini terlihat dari keluarnya asing di pasar surat utang negara (SUN)," ujar dia.

Analis melihat potensi tekanan ke pasar masih bisa berlanjut. Tapi, jika jeli, investor bisa memanfaatkan momen ini mengail untung. Hans menyebut, investor bisa membidik saham yang bakal membagi dividen dalam waktu dekat, seperti BBRI, BMRI dan BBNI. Sebaiknya saham-saham ini didekap jangka panjang. Pasalnya, support IHSG masih bisa menyentuh level 5.800 hingga 5.900.

Andri Zakaria Siregar, Head of Technical Analyst BNI Sekuritas menilai dalam jangka panjang, IHSG masih menarik. Namun, waspadai koreksi lanjutan dalam sepekan ke depan. Ia menduga, asing hanya wait and see. Dus, beberapa saham blue chip yang harganya turun dalam, seperti TLKM dan JSMR, justru bisa jadi pilihan. Begitu pula saham UNVR dan BBCA.

BEI juga punya pendapat sama. Tito bilang, koreksi ini justru membuat valuasi IHSG jadi murah. Sedang potensi pertumbuhan laba bersih emiten mencapai 21,28%. Angka ini lebih tinggi ketimbang laba emiten di Bursa Singapura sebesar 15,5%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sofyan Hidayat