Jangan panik meski kinerja reksadana turun



Meski kinerja produk reksadana tengah melempem, Daniel Saputro tak ambil pusing. Konsultan manajemen yang menjadi investor reksadana sejak tahun 2008 ini malah tetap setia dengan produk reksadana saham.

Padahal, sampai sejauh ini kinerja reksadana saham termasuk yang paling terpuruk dibandingkan dengan jenis reksadana lain. Toh, dia yakin, kinerja reksadana saham hingga akhir tahun nanti bakal membaik. “Walau sekarang IHSG lagi turun dari 5.500 ke 5.200-an, saya akan tahan dulu. Nanti juga naik lagi,” tukas Daniel enteng.

Keyakinan yang dimiliki Daniel tentu tak dipunyai semua investor reksadana. Koreksi yang terjadi tak jarang membuat investor, terutama bagi investor pemula, cemas jika duit investasinya bakal lenyap. Padahal, “Selama investor bisa konsisten dengan jangka waktu investasi yang dia pilih, tidak usah khawatir dengan fluktuasi,” kata Direktur Utama Danareksa Investment Management Prihatmo Hari Mulyanto.


Lantas, apa saja pilihan yang bisa diambil investor menghadapi kondisi seperti sekarang? Berikut ini ulasan untuk setiap jenis reksadana:

• Reksadana saham

Reksadana saham sejatinya memang diperuntukkan bagi investor bertipikal agresif. Alhasil, saat terjadi penurunan di bursa saham dan berimbas ke kinerja reksadana saham, sejak awal seharusnya risiko itu sudah disadari oleh  investor.

Justru, menurut analis Infovesta Utama Viliawati, bagi investor dengan profil risiko agresif serta tujuan keuangan yang relatif panjang, kondisi bursa saham yang masih berfluktuasi saat ini bisa dimanfaatkan. Caranya, dengan menambah (top-up) investasinya secara berkala pada saat bursa saham bergerak turun.

Ke depan, menurut Isbono M.I. Putro, Direktur BNI Asset Management, pasar saham memang masih dapat bergerak turun. Namun, harga saham-saham dalam jangka pendek sejatinya sudah mengalami diskon besar sehingga saat ini relatif murah dibandingkan dengan potensi jangka panjangnya.

Meski begitu, jika kinerja suatu produk reksadana yang dimiliki jauh tertinggal dibandingkan produk sejenis, Anda memang perlu mengambil ancang-ancang. Investor bisa beralih ke produk reksadana saham lain yang memiliki portofolio pada saham-saham berprospek fundamental baik dan valuasi yang relatif murah.

Yang jelas, Daniel menyarankan investor menjauhi reksadana saham berbasiskan sektor tertentu. Pasalnya, jika kondisi  sektor tersebut memburuk, pengelola reksadana bakal kesulitan memindahkan portofolio ke saham sektor lain yang masih mencorong.

Switching ke produk reksadana saham yang lain juga bisa dipertimbangkan oleh investor untuk menghadapi fluktuasi di pasar saham. Misalnya, memindahkan portofolio ke reksadana dengan aset saham berkapitalisasi besar alias saham blue chips. “Ini sebagai strategi yang lebih defensif dalam jangka pendek,” kata Isbono.

Sementara itu, switching dari reksadana saham ke jenis reksadana lain dipandang tidak diperlukan. Pasalnya, dalam jangka panjang, return reksadana saham masih lebih baik ketimbang jenis reksadana yang lain.

Strategi ini hanya disarankan bagi investor reksadana saham yang tujuan investasinya sudah atau hampir terealisasi. Dalam kondisi bursa saham yang berfluktuasi seperti saat ini, strategi tersebut bisa dilakukan untuk mengamankan nilai investasi. “Reksadana pasar uang, pendapatan tetap berbasis obligasi korporasi yang pergerakannya relatif stabil, atau deposito bisa menjadi pilihan bagi investor yang ingin mengurangi fluktuasi,” kata Villiawati.

• Reksadana pendapatan tetap

Direktur Utama Samuel Aset Manajemen Agus Basuki Yanuar memprediksi, investor lebih cenderung bersikap konservatif, tahun ini. Langkah itu ditempuh sembari menunggu realisasi kebijakan infrastruktur pemerintah dan perkembangan situasi ekonomi, termasuk situasi di pasar saham. Makanya, ia memperkirakan banyak investor yang bakal cenderung berpindah ke produk-produk reksadana pendapatan tetap.

Kecenderungan tersebut rupanya juga sejalan dengan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Hingga 15 Mei 2015, kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) yang bisa diperdagangkan pada produk reksadana mencapai Rp 53,80 triliun. Ini artinya, ada peningkatan sekitar 17,49% dibanding posisi akhir tahun lalu (year-to-date/ytd).

Porsi kepemilikan reksadana memang baru 4,04% dari total SBN yang bisa diperdagangkan, atau jauh di bawah kepemilikan asuransi terhadap SBN yang mencapai 12,10%. Namun, jika dibandingkan dengan porsi kepemilikan per akhir tahun lalu yang 3,78%, kenaikannya terbilang cukup lumayan.

Analis obligasi Sucorinvest Central Gani Ariawan tak menampik adanya upaya diversifikasi risiko yang dilakukan investor, termasuk pengelola reksadana. “Aset obligasi di reksadana pendapatan tetap lebih manageable dari sisi risiko,” kata Ariawan.

Sementara itu, Prihatmo cukup yakin dengan prospek reksadana pendapatan tetap. Salah satu alasannya, perhitungan Danareksa menunjukkan tingkat inflasi tahun ini bisa terjaga di level 5%. Alhasil, BI rate bisa saja diturunkan hingga ke 7%.

Dengan asumsi tersebut, Prihatmo memperkirakan, yield Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun yang menjadi benchmark bisa berada di level 7,5%–8%. Sementara, Ariawan memperkirakan, yield SUN FR0070 yang dimaksud tahun ini bisa di level 7,4%–7,5%.

Per 21 Mei lalu, yield SUN FR0070 sebesar 8,02%. Sementara obligasi korporasi  untuk tenor yang sama dengan rating AAA biasanya menjanjikan potensi yield 150–200 basis poin di atas acuan SUN tersebut.

Meski begitu, Head of Fixed Income Batavia Prosperindo Asset Manajemen Angky Hendra mewanti-wanti investor reksadana pendapatan tetap agar mencermati arah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan laju inflasi. Secara teoritis, jika inflasi naik dan kurs rupiah melemah, kemungkinan suku bunga juga akan dinaikkan. “Kalau suku bunga naik, yield obligasi juga naik. Akhirnya, harganya pasti akan terkoreksi,” kata dia.

Di sisi lain, Villiawati tak menyarankan investor melakukan switching dari reksadana pendapatan tetap ke jenis reksadana lain, seperti saham atau campuran. Sebab, pemilihan jenis reksadana sejak awal telah ditentukan berdasarkan profil risiko masing-masing investor serta tujuan investasinya.

Nah, karakteristik produk reksadana saham atau campuran dipandang kurang cocok dengan tujuan dan profil risiko investor moderat. “Selain itu, adanya potensi fluktuasi di bursa saham hingga akhir tahun yang diperkirakan masih relatif tinggi cukup berisiko jika investor membutuhkan investasi dalam jangka pendek atau menengah,” tukas Villiawati.

• Reksadana campuran

Berinvestasi di reksadana campuran ibarat menanamkan uang di dua jenis reksadana sekaligus: reksadana saham dan reksadana pendapatan tetap. Pasalnya, portofolio utama reksadana ini memang saham dan surat utang dengan pengaturan yang fleksibel atau dinamis.

Sifatnya yang fleksibel, kata Prihatmo, membuat daya tahan reksadana campuran semestinya lebih bagus dalam menghadapi tekanan,  baik di pasar saham maupun surat utang. Manajer investasi relatif lebih gampang memindahkan aset ke obligasi ketika pasar saham tengah melandai. Demikian pula sebaliknya. “Namun investor akan sulit mengalokasikan penempatan porsi aset saham dan aset obligasi apabila MI terlalu sering berganti alokasi secara ekstrem,” tambah Isbono.

Penempatan dalam satu kelas aset bisa mencapai maksimal 79%. Artinya, jika kebijakan investasinya agresif dan didukung oleh kondisi pasar saham yang positif, pengelola reksadana bisa menempatkan dana maksimal 79% di saham. Sebaliknya, jika kebijakannya moderat dan pasar obligasi yang lebih menarik, penempatan dana di surat utang maksimal bisa hingga mencapai 79%.

Nah, dalam kondisi seperti sekarang, Ariawan menyarankan investor memilih reksadana campuran yang porsi obligasinya lebih banyak. Meski return yang dihasilkan lebih kecil, risiko fluktuasi lebih terjaga ketimbang aset saham. “Tapi kalau investor punya view bahwa bursa saham ke depan akan bagus dan harga saham saat ini sudah murah, bisa pilih yang porsi sahamnya lebih banyak,” tandasnya.

Bagaimana dengan kinerja reksadana Anda saat ini?    

Laporan Utama Mingguan Kontan No. 35-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi